Dalam sastra kita selalu berhadapan dengan teks-teks yang tidak disusun atau dipakai secara khusus untuk tujuan komunikasi mudah atau sesaat. Sastra berbeda dengan teks pada umumnya ibarat buku, karangan atau goresan pena surat kabar, dan lain-lain. Fungsi sastra terutama bukan sebagai komunikasi. Lantas apa fungsi sastra tersebut ? Menurut tradisi yang telah bertahan lama, suatu karya dinilai berdasarkan kemampuannya mengajari atau menyenangkan khalayak, atau dengan kata lain berdasarkan kadar kemanfaatan dan kesenangan yang diberikan. Kalau manfaat yang ditekankan, maka fungsi sastra bertujuan mudah komunikatif. Jika kesenangan yang ditekankan, maka fungsi sastra lebih dianggap sebagai permainan.
Horatius, seorang Penyair Latin, yang hidup pada tahun 65 - 8 Sebelum Masehi merupakan teladan paling populer dalam diskusi wacana manfaat dan kesenangan sastra. Horatius menekankan manfaat, tetapi baginya puisi yang terbaik yaitu puisi yang berhasil menggabungkan keduanya (qui miscuit utile dulci). Dalam buku karangan Horatius yang berjudul Ars Poetica, yang merupakan buku pegangan untuk penulisan yang baik, disebutkan bahwa untuk segi kesenangan, sastra perlu memakai bahasa kiasan, khayalan, dan bentuk puisi. Sampai sekarangpun masih dipakai ungkapan kesenangan teks, yaitu kesenangan estetis dalam membangun dan menawarkan bentuk kepada teks. Gerakan estetisisme di simpulan kurun kesembilan belas sangat berlebih dalam menekankan seni demi seni, demi kesenangan yang didapat oleh pembaca dan penulis dari seni.
Berdeda dengan Horatius, Aristoteles dalam karangannya yang berjudul Poetica, ditemukan dasar dari apa yang disebut teori katarsis. Menurut Aristoteles, peristiwa sanggup menimbulkan penyucian (katarsis) perasaan melalui rasa belas kasihan dan ketakutan yang ditimbulkannya. Tragedi memperlihatkan kepada kita penderitaan yang luar biasa, diluar jangkauan anutan kita yang wajar. Penghayatan yang intens mengenai penderitaan tokoh melepaskan perasaan kita sendiri. Ada perpaduan antara identifikasi dan kelegaan.
Identifikasi merupakan kemampuan menghayati diri orang lain, lebih sering disebut sebagai suatu fungsi sastra. Identifikasi bekerjasama dengan sifat sastra yang fiksional sehingga dengan demikian kita sanggup menembus ke dalam pikiran dan perasaan tokoh-tokoh dalam suatu karya sastra. Pengenalan kembali pikiran dan perasaan tersebut sanggup menimbulkan identifikasi. Identifikasi besar lengan berkuasa sanggup juga mengarah kepada kecenderungan untuk pelarian, yaitu kecenderungan menukar untuk sementara kenyataan sendiri yang dirasa kurang menguntungkan dengan kenyataan ideal dalam suatu karya sastra.
Banyak andal teori menyampaikan bahwa kekhasan sastra terletak dalam berdiri teks. Para formalis Rusia, yaitu kritikus sastra tahun 1915 - 1930, mencari unsur kesastraan dalam bentuk pengungkapan. Kesastraan ditentukan oleh cara penyajian bahan. Sebagai contoh, yang menjadi materi puisi yaitu bahasa sehari-hari, sedangkan materi teks kisahan yaitu kisah yang dikisahkan. Bahan yang dari segi estetis netral, dibuat menjadi sastra dengan suatu penangan khusus, yang menawarkan kepada teks suatu fungsi puitis atau fungsi retoris. Penggarapan materi sanggup menjadikan ambiguitas atau makna ganda. Bahasa sastra sering kali ditandai oleh kemungkinan untuk memberi arti yang majemuk kepada kata, kalimat, dan bahkan suatu teks.
Difinisi sastra terikat pada waktu dan budaya, sebab sastra yaitu hasil kebudayaan. Beberapa faktor yang menimbulkan bahwa suatu teks disebut sastra oleh pembaca, khususnya pembaca dengan minat ilmu sastra, yaitu sebagai berikut :
- Dalam sastra ada penangan materi yang khusus, tidak hanya berlaku untuk puisi tetapi juga untuk prosa sastra. Misalnya ada paralelisme, kiasan, penggunaan bahasa yang tidak gramatikal, dan ada bentuk serta sudut pandang yang bermacam-macam.
- Dalam sastra barat masa kini kebanyakan teks sastra ditandai oleh fiksionalitas atau rekaan.
- Dengan mengungkapkan yang khusus, sastra sanggup memberi wawasan yang lebih umum wacana duduk masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual.
- Melalui penanganan materi secara khusus, melalui fiksionalitas dan melalui citra korelasi antara yang khusus dan yang umum, pembaca dimungkinkan menginterprestasikan sebagian dari teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri. Teks meliputi banyak hal secara implisit, memiliki banyak kawasan terbuka dan sanggup dibaca pada banyak sekali tataran.
- Dalam setiap karya sastra ada ketegangan antara kreativitas dan tradisi. Seringkali ada tuntutan mengenai originalitas dalam bentuk dan isi. Sekaligus sifat kesastraan sangat bergantung pada konvensi-konvensi tertentu.
- Teks sastra kebanyakn tidak disusun khusus untuk tujuan komunikasi eksklusif atau praktis. Menurut jenis teks, kita cenderung melihat fungsi sastra untuk sanggup menawarkan kesenangan. Sifat kesenangan bisa bermacam-macam, kadang bisa benar-benar terjadi pelepasan ketegangan, adakalanya diperoleh kenikmatan estetis yang aktif yaitu apresiasi teks sebab didapat kesenangan dalam mengikuti lika-liku dan kesemuan dalam teks. Dapat juga terjadi identifikasi, yaitu pelibatan pribadi dengan apa yang dikisahkan. Fungsi sastra yang lain yaitu manfaat, yaitu yang diperoleh secara tidak langsung, sebagaimana digambarkan dalam butir 3 tersebut diatas.
Kata sastra seringkali menimbulkan kesan seperti kata sastra mengacu pada kelompok teks yang homogen. Padahal ada banyak ragam atau genre sastra. Sajak lirik dan sajak peristiwa, ode, soneta dan balada, kisah pendek dan novel, tragedi, komedi, esai, dan lain-lain merupakan sebagian dari genre sastra. Keanekaragaman teks yang sebagaiannya tumpang tindih. Di antara banyak sekali ragam itu terdapat perbedaan besar, sedangkan di sisi lain beberapa ragam yang disebut sastra bersinggungan dengan ragam yang bukan sastra. Hal tersebut banyak dijumpai dalam novel dan penulisan sejarah, esai sastra dan jurnalistik, sajak-sajak tertentu dan pesan iklan.
Ada perjuangan yang terus menerus untuk menciptakan sistematika dalam sastra. Plato membagi teks dalam tiga kelompok (ragam sastra), yaitu :
- Teks yang penceritanya pengarang sendiri, contohnya pada sajak pujian.
- Teks yang menampilkan tiruan orang lain, contohnya drama.
- Teks dalam bentuk campuran, yang berganti ganti berisi kedua jenis di atas.
Pembagian tersebut didasarkan pada situasi bahasa, yang seringkali dihubungkan juga dengan ragam lirik, drama, dan epik (teks kiasan) yang ditentukan oleh isinya. Lirik sering kali dihubungkan dengan pengungkapan perasaan dalam bentuk puisi, meskipun ada juga penggambaran lirik dalam prosa. Sedangkan drama dan epik berisikan suatu cerita.
Pengelompokan sastra (ragam sastra) yang mendekati pembagian berdasarkan Plato, yaitu pengelompokan sastra yang didasarkan pada situasi bahasa saja, tanpa mendalami isinya, yaitu sebagai berikut :
- Teks monolog, yaitu teks yang dibawakan oleh satu pencerita. Misalnya puisi. Kebanyakan puisi berbentuk monolog.
- Teks dialog. Dalam teks ini sekurang-kurangnya ada dua pembicara yang berbicara secara bergantian. Misalnya drama, tragedi, komedi, dan lain-lain.
- Teks berlapis. Dalam teks ini ada pembicara utama atau pencerita primer yang sanggup menampilkan pembicara lain, yaitu tokoh. Teks tokoh merupakan lapisan yang bertumpu pada teks pencerita utama. Misalnya roman, epos, dan kisah pendek.
Semoga bermanfaat.
0 Response to "Teks Dan Sastra"
Post a Comment