Kekhilafan (Dwaling) Mengenai Sifat Hakekat Bendanya

Kekhilafan terjadi apabila kehendak seseorang pada dikala menciptakan perjanjian dipengaruhi oleh kesan atau pandangan yang tidak benar. Kekhilafan sanggup terjadi mengenai hal pokok dari apa yang diperjanjikan, dengan siapa diadakan perjanjian, atau mengenai sifat hakekat benda yang menjadi obyek obyek perjanjian.

Benda dalam suatu perjanjian secara umum diartikan sebagai 'obyek prestasi". Ciri atau sifat suatu benda sanggup dilihat dari bentuk, warna, dan lain sebagainya yang menempel pada benda tersebut. Sehingga akan gampang bagi kita untuk menyampaikan bahwa salah satu dari orang yang setuju menciptakan perjanjian tersebut telah melaksanakan kekhilafan atau kekeliruan. 

Tidak semua obyek suatu perjanjian  berupa benda, sanggup juga obyek perjanjian berupa kewajiban untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan sesuatu. Jika menyerupai itu, bagaimana mengidentifikasikannya supaya tidak terjadi kekhilafan ? Akan sulit bagi kita untuk mengatakan, bahwa orang tersebut telah melaksanakan kekhilafan mengenai obyek perjanjiannya.

Pada pasal 1322 KUH Perdata berbunyi :

  • Kekhilafan tidak menyebabkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian.

Ketentuan pasal 1322 KUH Perdata tersebut menunjukkan patokan bahwa kekhilafan harus mengenai "hakekat bendanya (zelfstandigheid van de zaak) atau diri subyeknya (omtrent den persoon)" yang menjadi dasar dibuatnya perjanjian. Hakekat benda ialah sifat-sifat atau ciri-ciri dari bendanya yang bagi para pihak merupakan alasan dibuatnya perjanjian yang menyangkut benda tersebut.

Banyak orang menafsirkan bahwa "barang atau benda" yang dimaksud dalam pasal 1322 KUH Perdata tersebut mencakup juga prestasinya itu sendiri, yaitu hak dan kewajiban yang muncul dari perjanjian tersebut. Sementara para sarjana masih belum ada kesamaan pendapat mengenai, apakah orang sanggup mengemukakan kekhilafan mengenai hakekat bendanya, kalau benda tersebut ialah benda yang ditentukan berdasarkan jenis. Karena ciri-ciri dari benda tersebut ada pada setiap benda lain yang sejenis.

Berkaitan dengan penentuan ciri atau sifat suatu benda, perlu kiranya untuk menetapkan ukuran apakah yang akan digunakan untuk menetapkan suatu ciri atau sifat tersebut, atau dengan kata lain penetapkan ciri esensiil suatu benda. Karena kekhilafan mengenai ciri atau sifat tersebut ialah suatu kekilafan mengenai hakekat bendanya. Untuk memilih ciri esensiil dari hakekat suatu benda ada dua pendapat yang digunakan sebagai ukurannya, yaitu :
  1. Ukuran Obyektif. Pencetus teori ini ialah von Savigny, yang menyampaikan bahwa suatu ciri ialah ciri esensiil, kalau dengan tidak adanya ciri tersebut maka menjadikan benda yang bersangkutan menjadi tidak ada. Disebut ukuran obyektif alasannya ialah yang menjadi ukuran ialah pendapat umum mengenai ciri tersebut. Sehingga berdasarkan teori ini, sudah cukup terpenuhi adanya suatu  kekhilafan mengenai hakekat bendanya, kalau yang keliru  ialah satu pihak saja.
  2. Ukuran Subyektif. Menurut teori ini, suatu ciri ialah ciri yang esensiil mengenai bendanya, kalau kedua pihak yang mengadakan perjanjian tertuju pada ciri tersebut. Sehingga secara umum kita tidak sanggup menyampaikan ciri mana dari suatu benda ialah ciri esensiil mengenai hakekat benda perjanjian alasannya ialah setiap ciri sanggup memiliki arti penting bagi para pihak dalam suatu perjanjian tertentu. Dengan kata lain, apakah suatu ciri merupakan esensiil, tergantung dari para pihak dalam masing-masing perjanjian yang bersangkutan. Teori subyektif ini dirasakan lebih adil.

Ciri atau sifat mengenai hakekat benda sebagai obyek perjanjian harus penting sekali bagi salah satu pihak, sehingga kalau ciri atau sifat tersebut tidak ada, maka perjanjian yang bersangkutan tidak akan diadakan.  

Semoga bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kekhilafan (Dwaling) Mengenai Sifat Hakekat Bendanya"

Post a Comment