Kritik Sastra

Tugas ilmu sastra seringkali dianggap sebagai menafsirkan dan menilai tiap-tiap karya sastra, baik sendiri-sendiri maupun seluruh karya seorang pengarang tertentu. Saat berkembangnya fatwa formalisme dan strukturalisme, perhatian utama ilmu sastra lebih kepada sifat-sifat umum dalam kesusasteraan. Sedangkan di Eropa Barat dan Amerika dikala itu mulai bermunculan aliran-aliran yang menekuni analisa, tafsiran, dan penilaian tiap-tiap karya sastra, yang membatasi diri hanya pada karya sastra sendiri atau teksnya. Sedangkan data biografik dan historik sedapat mungkin dikesampingkan. Pendekatan menyerupai itu disebut ergosentrik atau sering juga disebut dengan istilah kritik sastra.

Terdapat banyak fatwa (bentuk) dalam kritik sastra, beberapa diantaranya yaitu sebagai berikut :
1. New Criticism.
Aliran New Criticism berkembang dan sangat kuat dalam pembahasan sastra di Amerika pada tahun seribu sembilanratus tigapuluhan hingga dengan tahun seribu sembilanratus limapuluhan. New Criticism melawan pendekatan sastra historik dan biografik serta kritik impresionistik. Para penganut fatwa ini berpendapat, bahwa : 
  • Ilmu dan teknologi menghilangkan nilai perikemanusiaan dari masyarakat dan menjadikannya berat sebelah. Selain itu, ilmu pengetahuan tidak cukup dalam mencerminkan kehidupan manusia. 
  • Sastra, khususnya puisi, sanggup mengungkapkan situasi insan dengan lebih sempurna. Puisi merupakan suatu jenis pengetahuan tertentu, yaitu pengetahuan lewat pengalaman.
  • Tugas kritik dalam sastra yaitu menunjukkan dan memelihara pengetahuan yang khas, unik, dan lengkap. Hanya dengan menganalisa susunan dan organisasi sebuah karya, sanggup diperlihatkan karya seni itu berdasarkan arti yang sesungguhnya.
Aliran New Criticism memandang karya sastra sebagai sebuah kesatuan yang telah selesai, sebuah tanda-tanda estetik yang pada dikala penyelesaiannya meninggalkan syarat-syarat subyektifnya.

Beberapa tokoh fatwa New Criticism yaitu :
  • Wimsatt, menurutnya sebuah sajak jangan dicampurbaurkan dengan kesan yang diperoleh oleh pembaca. Jika mengikuti hal tersebut (affective fallacy), maka akan terjurum dalam kritik subyektivis dan impresionis. Arti sebuah sajak hendaknya dicari dalam sintaksis dan semantiknya. Untuk mengetahui arti itu dipergunakan pengetahuan mengenai bahasa dan sastra.
  • Brooks, menurutnya yang merupakan ciri khas sebuah sajak tidak sanggup diparafrasekan, diuraikan dengan cara biasa. Kesatuan sajak terjadi sebab segala macam unsur paradoksal terpaut menjadi satu. Fungsi paradoks yaitu menempatkan kenyataan yang sudah biasa dalam suatu cahaya baru.
Aliran New Criticism sering sekali meneliti puisi para penyair dari banyak sekali jaman yang hasil karyanya dengan sengaja disusun secara paradoksal.
Aliran New Criticism ini berjasa dalam mengarahkan kembali perhatian kita kepada teks sastra sendiri. Analisa terhadap karya sastra yang fatwa New Criticism buat mempertajam pengertian kita mengenai puisi yang terkadang sulit dipahami, analisa-analisa yang dibentuk juga sanggup dibaca oleh kalangan pembaca yang lebih luas.  

2. Nouvelle Critique.
Nouvelle Critique berkembang dan sangat kuat dalam diskusi mengenai sastra di Prancis pada tahun seribu sembilanratus enampuluhan. Tokoh utama Nouvelle Critique yaitu Roland Barthes, yang beropini bahwa :
  • Kritik sastra di kalangan universitas hanya membuat ikhtisar-ikhtisar kemudian membuat penilaian. 
  • Penulisan sejarah sastra secara naif dan kebetulan menemukan hubungan-hubungan tanpa mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara terarah ataupun memperhatikan kaitan-kaitan struktural.
Roland Barthes membedakan karya sastra yang sanggup dibaca (lisible) dari karya sastra yang sanggup ditulis (scriptible). Sebuah karya sastra yang sanggup dibaca, menyerupai sebuah sebuah novel realistik, pada umumnya pembaca ingin tahu bagaimana tamatnya atau penyelesaiannya. Berbeda dengan itu sebuah karya sastra yang sanggup ditulis, teks yang sanggup ditulis sedemikian rupa, sehingga mengajak pembaca untuk menulisnya kembali, memproduksinya kembali. Karena tidak jelas, maka terbukalah kesempatan untuk menganalisa teks itu kata demi kata dan kalimat demi kalimat untuk menghasilkan arti-arti baru. Kita menulis sebuah teks baru, sebab teks pertama tidak dengan serta merta sanggup kita artikan.
Kelompok ini tidak yakin bahwa sebuah karya sastra sanggup ditafsirkan secara tuntas dan arti yang sesungguhnya sanggup diungkapkan. Menurut Barthes, seorang kritikus merupakan subyek yang menambahkan nilai-nilainya sendiri sambil membaca karya sastra tertentu. Sebuah karya sastra bersifat ambigu, terbuka bagi penafsiran kedua dan berikutnya (connotations). Dengan menentukan salah satu cara untuk membaca dan menganalisa sebuah karya sastra, maka sang kritikus secara implisit sudah menentukan hasil analisanya. Kritik membuat arti-arti sedangkan ilmu sastra melukiskan berdasarkan daypikir mana arti-arti itu dihasilkan.
Para penganut Nouvelle Critique selalu ingin mengatakan struktur-struktur. Dalam sebuah struktur terlihat tata susunan serta keberkaitan intern. Bagian-bagian gres memperoleh arti kalau dipandang dari keseluruhan, dan keseluruihan gres sanggup dimengerti kalau kita memperhatikan bagian-bagiannya. Nouvelle Critique menamakan diri strukturalistik.
Beberapa dalil dari kelompok Nouvelle Critique menjadikan masalah-masalah yang sanggup dipertanyakan kebenarannya. Diskripsi mengenai proses interpretasi, cara penggalan dari keseluruhan saling menentukan, sebetulnya berbau filsafat dan tidak begitu saja sanggup dibuktikan. Dalil bahwa segala sesuatu memiliki arti sanggup menghasilkan suatu penafsiran yang dibuat-buat mengenai detil-detil di dalam modul penelitian yang dipilih. Namun begitu, Nouvelle Critique telah berjasa sebab mereka telah mengatakan subyektivitas seorang kritikus, mereka menunjukkan bahwa sebuah penafsiran juga tergantung pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengenai teks yang bersangkutan.

Semoga bermanfaat.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kritik Sastra"

Post a Comment