Suatu perjanjian pada prinsipnya dikatakan berlaku dan mengikat bagi para pihak yang menciptakan perjanjian tersebut, apabila perjanjian tersebut memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata disebutkan bahwa : Untuk sahnya suatu perjanjian diharapkan empat syarat :
Apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut tidak dilanggar oleh para pihak pembuat perjanjian, maka perjanjian yang dibentuk akan menyebabkan hak dan kewajiban bagi para pihak pembuat perjanjian tersebut.
Apakah cukup hingga di situ ? Tidak. Selain ditentukan oleh aturan yang berlaku tersebut, para pihak pembuat perjanjian sanggup memilih isi dari hak dan kewajiban dalam perjanjian yang dibuatnya. Lebih dari itu, aturan yang menambah juga mengisi kekosongan dalam perjanjian yang dibentuk oleh para pihak tersebut, yaitu kalau para pihak pembuat perjanjian tidak mengaturnya secara menyimpang.
- sepakat mereka mereka yang mengikatkan dirinya.
- kecakapan untuk menciptakan suatu perikatan .
- suatu hal tertentu.
- suatu alasannya ialah yang halal.

Apakah cukup hingga di situ ? Tidak. Selain ditentukan oleh aturan yang berlaku tersebut, para pihak pembuat perjanjian sanggup memilih isi dari hak dan kewajiban dalam perjanjian yang dibuatnya. Lebih dari itu, aturan yang menambah juga mengisi kekosongan dalam perjanjian yang dibentuk oleh para pihak tersebut, yaitu kalau para pihak pembuat perjanjian tidak mengaturnya secara menyimpang.
Oleh lantaran ketentuan pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur wacana syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut tidak mencantumkan juga syarat keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan KUH Perdata pada umumnya tidak menganut prinsip Justum Pretium, yaitu prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban atau antara prestasi dan kontra prestasi, maka adanya kekosongan dalam perjanjian yang dibentuk tersebut, memperlihatkan kesempatan kepada para pihak untuk menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah tersebut. Hal itu, seringkali memperlihatkan kesempatan kepada pihak yang kedudukannya lebih besar lengan berkuasa untuk menyingkirkan tanggung jawab tertentu dari dirinya, atau bahkan mengalihkan tanggung jawab yang harusnya menjadi bebannya tersebut kepada pihak yang kedudukannya lebih lemah, dengan memperjanjikan suatu klausula yang biasa disebut exonoratie clausul (klausula exonoratie).
Exonoratie adalah pembebasan dari tanggung jawab. Klausula exonoratiie merupakan ketentuan-ketentuan yang dibentuk dalam suatu perjanjian yang isinya berupa pembebasan tanggung jawab dari salah satu pihak. Atau secara umum sanggup dikatakan, bahwa klausula exonoratie berkaitan dengan duduk masalah ketentuan umum yang bersifat menambah, yaitu ketentuan-ketentuan aturan yang sanggup disingkirkan oleh para pihak dalam suatu perjanjian. Dengan adanya kesempatan menyerupai itu, sudah sanggup diduga bahwa klausula exonoratie akan selalu berkaitan dengan penyalahgunaan keadaan.
Jadi, lantaran tidak dicantumkannya asas keseimbangan antara hak dan kewajiban atau prestasi dan kontra prestasi di antara para pihak pembuat perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian dalam ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tersebut, maka untuk sanggup dikatakan adanya penyalahgunaan keadaan, seseorang tidak cukup hanya mengemukakan tidak adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban atau prestasi dan kontra prestasi, tetapi juga harus dikemukakan dan dibuktikan adanya tindakan penyalahgunaan keadaan, yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban atau prestasi dan kontra prestasi tersebut yang sanggup dikatakan tidak patut. Dan penyalahgunaan keadaan itu terjadi dikarenakan adanya tekanan keadaan daris alah satu pihak, baik secara irit maupun secara psikologis.
Semoga bermanfaat.
0 Response to "Klausula Exonoratie Dan Penyalahgunaan Keadaan"
Post a Comment