Pemikiran Hans Kelsen Perihal Aturan Dan Negara Serta Implementasinya Terhadap Dukungan Hak Asasi Insan (Kajian Dari Perspektif Teori Hukum)

PEMIKIRAN HANS KELSEN TENTANG aturan dan negara serta implementasinya terhadap proteksi hak asasi insan (KAJIAN DARI PERSPEKTIF TEORI HUKUM)

Oleh:

Dr. LILIK MULYADI, S.H, M.H.[1]

I. Pendahuluan

Paul Vinogradoff[2] menyebutkan insan diidentifikasikan sebagai mahkluk biologis dan mahkluk sosial sehingga insan akan selalu senantiasa hidup bahu-membahu dengan insan dan mahluk hidup lainnya. Aristoteles, berkata insan itu “zoon politicon”.[3] Oleh lantaran itu Cicero menyebutkan bahwa dimana ada masyarakat di situ ada aturan (ubi societas ibi ius) sehingga aturan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Tegasnya, tidak ada suatu masyarakat dan negara yang beradab tidak memerlukan hukum.

Dikaji dari perspektif aturan tata negara positif maka terhadap lahirnya suatu negara, dikenal beberapa teori ibarat teori kenyataan, teori ketuhanan, teori penaklukan dan teori perjanjian.[4] Selanjutnya Wirjono Prodjodikoro menyatakan “negara yaitu suatu organisasi diantara sekelompok atau beberapa kelompok insan yang bahu-membahu mendiami suatu wilayah (territoir) tertentu dengan mengakui adanya suatu Pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa insan tadi”[5]. Sri Soemantri Martosoewignjo secara lebih sederhana lagi mengemukakan bahwa “mendirikan dan membentuk negara pada hakikatnya mendirikan dan membentuk organisasi kekuasaan”[6]. Negara lantaran sifatnya yang aneh dan luas sanggup dipahami dari banyak sekali aspek. Disamping sebagai organisasi kemsyarakatan, negara juga sanggup dipandang sebagai “organisasi kekuasaan”[7]. Bilamana dikaji dari unsur-unsurnya, berdasarkan H. Abu Daud Busroh[8] dikemukakan ada 3 (tiga) hal, yakni terdiri atas daerah, rakyat dan pemerintah yang berdaulat. Penetapan ini sejalan dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro[9] yang membedakan unsur-unsur negara terdiri atas masyarakat, wilayah/territoir dan unsur pemerintahan. Perbedaan terhadap unsur-unsur negara gres sanggup dijumpai jikalau pendapat di bidang Tata Negara itu dibandingkan dengan pendapat di bidang Internasional.

Menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 yang telah dipandang sebagai prinsip-prinsip aturan umum ihwal keberadaan suatu negara berdasarkan Internasional, mengemukakan unsur-unsur negara terdiri atas 4 (empat) hal, yakni :

1). Adanya penduduk yang tetap (a permanent population);

2). Memiliki wilayah yang terang (a defined territory);

3). Adanya Pemerintah (a government);

4). Adanya kemampuan untuk melaksanakan kerjasama dengan negara-negara lainnya (a capacity to enter into relations with athor states).

Keempat unsur ini menjadi elemen dasar dari adanya suatu negara dalam pandangan Internasional. Disamping keempat unsur di atas, secara doktrinal berdasarkan pendapat Huala Adolf[10] dan Wayan Parthiana[11], disamping keempat unsur tersebut ditambahkan lagi adanya unsur negara sanggup mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan pejabat-pejabatnya terhadap pihak negara lain, dan negara harus merdeka

Negara untuk sanggup mewujudkan ketertiban memerlukan adanya suatu sistem pengendalian masyarakat, salah satunya berupa hukum[12]. Oleh lantaran itu maka duduk kasus aturan dan negara telah menerima perhatian dan menjadi obyek acara intelektual dari para pemikir dunia semenjak lebih dari 2500 tahun yang kemudian hingga sekarang. Plato (429-347 s.M) dan Cicerio (106-43 s.M) merupakan pemikir-pemikir besar ihwal negara dan aturan pada zaman Purbakala, Thomas Aquinas (1225 – 1274) sebagai pemikir pada zaman Pertengahan serta Montesquieu (1689-1755), Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dan Hans Kelsen sebagai pemikir sesudah pada zaman pertengahan[13].

Pada asasnya Hans Kelsen menerima efek fatwa neo-Kantianisme[14], khususnya mazhab Marbug sehingga Hans Kelsen membuatkan filsafat hukumnya dengan bertolak pada tesis-tesis epistimilogi sebagai berikut :[15]

1). Adanya keyakinan bahwa cara pendekatan menentukan pengetahuan dan struktur sistem ilmiah;

2). Ilmu harus berusaha dengan analisis konsep-konsep secara eksak untuk menjaring unsur-unsur essensial dan merumuskannya kedalam generalisasi-generalisasi secara formal;

3). Salah satu aspek dari setiap ilmu yaitu kasus relasi dengan kenyataan.

Tolok ukur tesis konteks di atas maka B. Arief Sidharta mengkritisi konsepsi Hans Kelsen ihwal ilmu aturan dan teori aturan adalah:[16]

a. Ilmu yaitu suatu pemahaman normologis ihwal makna aturan positif (normological apprehenson of the meaning of positive law).

b. Teori aturan (legal theory) yaitu teori umum ihwal aturan positif yang memakai metode pemahaman yuristik yang khas secara murni.

Melalui pemahaman normologis ilmu aturan hanya mempelajari norma-norma sehingga sebagai ilmu kognitif yang murni ihwal aturan positif. Konteks dan problematika relasi ihwal latar belakang lahirnya hukum, baik buruknya isi aturan bukan merupakan dilema bagi Hans Kelsen. Selanjutnya melalui metode yuristik, maka aturan sebagai ketentuan normatif dipandang secara holistik dan dibebaskan dari percampuran dengan pendekatan-pendekatan di luar aturan ibarat pendekatan psikologis, sosiologi, politikologis dan etis suatu penlolakan terhadap sinkretisme metodelogis. Disamping teori aturan murni yang mengemukakan bahwa “hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, ibarat etis, sosiologis, politis dan sebagainya”[17] di atas, Hans Kelsen juga membuatkan teori Stufenbau des Recht (Teori Pertingkatan ). Menurut teori Pertingkatan sistem aturan itu pada hakikatnya bersifat hierarkis, dimana suatu ketentuan aturan tertentu akan bersumber pada ketentuan aturan lainnya yang lebih tinggi.

Oleh lantaran itu dengan titik tolak polarisasi pemikiran di atas berikut goresan pena ini akan lebih intens, detail dan terperinci mengkaji lebih dalam ihwal pemikiran Hans Kelsen ihwal aturan dan negara serta implementasinya terhadap proteksi hak asasi insan dikaji dari perspektif teori hukum.


II. Polarisasi Pemikiran Hans Kelsen Tentang Dan Negara Dalam General Theory Of Law And State Serta Implementasinya Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia Dikaji Dari Perspektif Teori

1. Pemikiran Hans Kelsen ihwal dan Negara

Pada penggalan 2 Bab I ihwal dan Negara maka dalam buku General Theory of Law and State khususnya terhadap konteks Hak Asasi Manusia maka dikemukakan polarisasi pemikiran Hans Kelsen ihwal dan Negara yaitu sebagai berikut:

§ Pemikiran bahwa pada hakikatnya negara sebagai personifikasi dari Tata Nasional, sehingga tertib aturan tidak ada bedanya dengan tertib negara[18].

Pandangan yang menempatkan Negara sebagai personifikasi dari Tata Nasional memperlihatkan negara diidentikan dengan hukum. Hal ini merupakan pandangan yang ekstrim bilamana dikaitkan dengan teorinya ihwal hukum, yakni teori aturan murni. Sebagaimana telah dibahas, berdasarkan teori aturan murni bahwa “hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, ibarat etis, sosiologis, politis dan sebagainya”[19]. Pandangan ini memperlihatkan aturan itu bebas nilai (in free value) serta dilepaskan dari faktor-faktor realitas yang kuat dalam pembentukannya. Berbagai mahir non aturan mengkritik pendapatnya. Hans Kelsen dipandang telah meremehkan peranan dan manfaat dari bidang di luar aturan terhadap pembangunan dan pengembangan aturan tersebut. Kami sependapat dengan kritikan yang diajukan kepada Hans Kelsen. sebagai hasil budaya insan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan insan atas kehidupan yang tentram dan tertib tentunya tidak sanggup dilepaskan dari pengaruh-pengaruh bidang lain di luar hukum. Tiap kaidah aturan positif pada hakikatnya merupakan hasil evaluasi insan terhadap prilaku insan yang menerima keajegan sebagai suatu kebiasaan yang telah diterima dan disepakati untuk mengatur kehidupan insan itu sendiri. Dengan kata lain, aturan merupakan produk yang komprehensif sehingga sanggup dipandang sebagai tanda-tanda budaya, tanda-tanda sejarah, tanda-tanda politik, disamping sebagai tanda-tanda sosial.

Menganalogikan dengan konsep hukumnya, maka sangat sulit sanggup diterima secara ilmiah bilamana negara dimurnikan dan terlepas dari efek disiplin ilmu lainnya. Pandangannya bahwa “tidak ada konsep sosiologis ihwal negara selain konsep hukum”[20] tidaklah benar sepenuhnya. Negara bukanlah obyek aturan semata, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu pemerintahan, bahkan biologi (melalui teori organis) sebagai ilmu eksak juga sanggup menjadikan negara sebagai obyek kajiannya. Dengan kata lain, kami kurang sependapat dengan pandangannya bahwa “negara dan aturan bukan dua obyek yang berbeda”[21], “menolak adanya kehendak atau kepentingan kolektif dari warga negara beserta negara itu sendiri”[22]. Dilain pihak dalam rangka menegakkan supremasi hukum, kami sependapat dengan pendapat ia bahwa “untuk sanggup mengetahui perbedaan antara perintah atas nama organ negara dengan yang bukan yaitu melalui tata aturan yang membentuk negara tersebut”[23], “segala bentuk tindakan memerintah dan mematuhi perintah yang beraneka ragam hanya terjadi berdasarkan tata hukum”[24]. Oleh lantaran itu, pendapat Hans Kelsen untuk sebagian sanggup diterima, baik dalam kaitannya dengan konsep negara aturan yang menjunjung supremasi aturan maupun berkaitan dengan konsepsi negara disamping sebagai “komunita yang diciptakan oleh suatu tata aturan nasional”[25], sekaligus juga sebagai organisasi kekuasaan atau organisasi kemasyarakatan.

§ Organ negara yaitu individu yang menjalankan suatu fungsi tertentu yang ditetapkan oleh tata hukum.

Organ negara dibedakan dalam artian luas (bersifat formal) dan artian sempit (bersifat material). Mendasarkan kepada pendekatan fungsi, adapun organ-organ negara yang melaksanakan fungsi membuat norma, fungsi menerapkan norma, fungsi menerapkan hukuman aturan serta fungsi menentukan tubuh legislatif dikatagorikan sebagai organ negara dalam artian luas. Sedangkan organ negara yang melaksanakan ketiga fungsi selain fungsi menentukan tubuh legislatif diklasifikasikan sebagai organ negara dalam artian sempit. Secara sederhana, organ negara tersebut terdiri dari organ pemerintah dan non pemerintah (warga negara). Adapun fungsi menentukan tubuh legislatif merupakan jenis fungsi yang dilakukan di luar pemerintah. Pandangan ini tampak tidak mendikotomikan antara pemerintah dengan warga negara. Hal ini berarti keduanya mempunyai kekuasaan sesuai dengan fungsinya yang ditetapkan oleh tata hukum.

Dalam arti sempit, pengertian organ negara yang dikemukakan Hans Kelsen tampak dipengaruhi oleh fatwa Trias Politika yang membedakan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, kekuasaan administrator dan kekuasaan yudikatif. Pembidangan ini secara doktriner dikenal dengan organ negara dalam arti luas, sehingga pendapat Hans Kelsen lebih luas dari pendapat para sarjana ibarat Montesquieu ataupun John Locke sebagai penganut fatwa Trias Politika. Dalam realitanya kami kurang sependapat dengan pandangan Hans Kelsen, oleh lantaran pengertian organ negara erat kaitannya dengan wewenang dan warga negara tentunya tidak mempunyai wewenang untuk memerintah kecuali mereka telah menjadi pegawai negeri pada salah satu organ negara dalam pengertian yang sempit.

§ Negara sebagai personifikasi tata aturan tidak mempunyai kewajiban dan hak.

Hans Kelsen yang tidak mendapatkan adanya pembedaan antara aturan dan negara, dalam konteks nasional menolak pembebanan kewajiban dan derma hak kepada negara. Beliau mengemukakan “sebenarnya tidak ada kewajiban dan hak negara. Kewajiban dan hak selalu merupakan kewajiban dan hak para individu”[26]. Namun demikian, ia tidak menyangkal keterikatan dari pemerintah atau orang-orang yang mewakili negara terhadap norma-norma aturan dalam hal berafiliasi dengan warga negara. Dengan kata lain, penyangkalan Hans Kelsen terhadap keterikatan negara dengan aturan tidak bersifat absolut, lantaran organ-organ negara (dalam arti sempit/materiil) tetap terikat perbuatannya dengan norma-norma hukum. Disamping itu, dalam kaitan dengan pergaulan masyarakat dunia dikemukakan bahwa negara sanggup juga dibebankan kewajiban yang tercermin dari hukuman yang harus dipertanggungjawabkannya.

Adanya akreditasi kedaulatan negara dalam wilayah nasional suatu negara sejalan dengan teori kedaulatan negara yang menempatkan negara secara utuh dan berdaulat dalam wilayahnya. Pengakuan ini berdasarkan pendapat kami sangat penting untuk mempertahankan keutuhan suatu negara dari rongrongan warga negara atau rakyatnya sendiri. Namun demikian pengukuhan keutuhan negara ini bukan berarti melepaskan tanggung jawab pegawapemerintah pelaksana atau organ negara yang diduga dan/atau terbukti melaksanakan perbuatan yang melawan aturan sehingga merugikan rakyatnya. Supremasi aturan harus tetap ditegakkan, dan siapapun bersalah dan mempunyai kemampuan bertanggung jawab wajib tunduk pada hukum. Mengenai pertanggungan jawab dari aparat/organ negara tidaklah bersifat serta merta, artinya terhadap perbuatan melanggar aturan yang dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang telah ditetapkan bukanlah menjadi kewajiban organ negara bersangkutan. Tindakan pegawapemerintah pemerintah yang berdasarkan aturan meskipun telah menimbulkan kerugian atau pelanggaran terhadap hak-hak rakyat bukan menjadi kewajiban pegawapemerintah bersangkutan yang mempertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban akan muncul bilamana tindakan pemerintah yang diduga atau telah menimbulkan kerugian dan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat dilakukannya dengan melanggar aturan atau tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang telah ditetapkan terkait dengan pelaksanaan kiprah negara bersangkutan.

Adanya kewajiban pertanggungjawaban pemerintah atau organ negara ini secara contrario merupakan wujud proteksi aturan dari negara melalui aparatnya terhadap warga negara atau rakyatnya. Dengan kata lain, pendapat Hans Kelsen secara tersirat pada hakikatnya mengakui keberadaan dari konsep negara hukum, yang berdasarkan Sri Soemantri Martosoewignjo mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. bahwa pemerintah dalam melaksanakan kiprah dan kewajibannya harus berdasar atas aturan atau peraturan perundang-undangan;

b. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi insan (warga negara);

c. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

d. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (recthsterlijke controle)[27].

Selanjutnya berkenaan dengan negara dalam relasi internasional, Mochtar Kusumaatmadja[28] mengemukakan kedaulatan negara akan berakhir bilamana kedaulatan negara lain dimulai. Hal ini memperlihatkan bahwa setiap negara berdaulat mempunyai kemerdekaan serta persamaan derajat, sehingga kedaulatan, kemerdekaan dan kesamaan derajat merupakan tiga rangkaian kata yang selaras. Perkembangan lebih lanjut dari dianutnya prinsip itu yaitu tidak sanggup digugatnya suatu negara yang berdaulat dihadapan lembaga hakim negara lain. Aspek kedaulatan suatu negara ini melahirkan iktikad kekebalan atau imunitas kedaulatan (Sovereign Immunity Doctrine) yang dikembangkan dalam relasi antar negara. Namun demikian, implementasi iktikad ini juga tidak bersifat mutlak, oleh lantaran dalam beberapa hal ada pembatasan yakni apabila negara didalam melaksanakan relasi dengan negara lain tidak dalam kedudukannya sebagai tubuh aturan publik. Dengan kata lain, proteksi terhadap negara dalam bentuk immunitas kedaulatannya hanya diberikan apabila negara tersebut bertindak dalam kualitasnya sebagai negara dalam artian kesatuan politis (iure imperii) dan proteksi tidak diberikan bilamana negara sebagai tubuh aturan perdata ibarat dalam relasi perdagangan (iure gestionis)[29].

§ Mendasarkan pembagian Publik dan Privat, negara dikualifikasikan sanggup melaksanakan relasi aturan publik dan aturan privat.

Menurut tata aturan tradisional, negara semata-mata sebagai tubuh aturan publik yang diatur oleh aturan publik. Perkembangannya dalam tata aturan modern, berdasarkan ia bahwa negara disamping sebagai tubuh aturan publik juga sanggup berkedudukan sebagai tubuh aturan perdata yang tunduk pada Perdata[30]. Negara dinyatakan mempunyai hak-hak kebendaan (jus in rem) dan hak-hak perorangan (jus in personam), sehingga perselisihan yang terjadi berkenaan dengan pelaksanaan hak-hak itu dengan warga negara akan diselesaikan berdasarkan Acara Perdata.

Konsep ibarat di atas sanggup membawa dampak negatif bagi negara maupun rakyatnya. Negara berdasarkan Hans Kelsen dimungkinkan sebagai pemilik (eighnaar) wilayah yang ditempati rakyatnya. Kekuasaan ibarat ini sanggup menimbulkan lahirnya negara otoriter yang sanggup secara sewenang-wenang mencabut hak-hak atas tanah yang telah ditempati rakyatnya. Di lain pihak, konsep di atas memungkinkan terjadinya negara pailit yang berefek kepada pembubaran negara tampaknya halnya pembubaran perusahaan dalam hal negara dipandang wanprestasi oleh sebagian besar rakyatnya. Wanprestasi sanggup muncul bilamana dikaitkan dengan kewajiban atau prestasi negara untuk menawarkan jaminan proteksi terhadap hak-hak warga negara ibarat hak atas hidup yang layak, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas keamanan dan sebagainya. Oleh lantaran itu, sebaiknya derajat negara dalam lingkungan wilayah negara tidak diturunkan sebagai para pihak yang tunduk pada kaidah-kaidah aturan perdata. Negara secara teoritis sangat sempurna bilamana mengkuasakan kepada pegawapemerintah pemerintahan didalam hal melaksanakan relasi perdata. Dengan pelimpahan kewenangan melalui “atribusi atau delegasi”[31], maka negara secara organisatoris terlepas dari kewajiban pertanggungjawaban perdata.

2. Keberadaan Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Pemikiran Hans Kelsen mengenai dan Negara

Menyimak banyak sekali pemikiran Hans Kelsen yang telah dikemukakan di atas, dalam perspektif Hak Asasi Manusia ada beberapa hal yang menarik dicermati. Beberapa hal yang dimaksudkan dalam konteks wilayah kedaulatan negara yaitu terkait dengan kewajiban negara beserta pemerintahnya untuk melindungi hak asasi manusia, sanggup dipertanggungjawabkannya pegawapemerintah pemerintah atas dugaan atau adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia, adanya kewajiban negara untuk memperbaiki dan menyempurnakan tata aturan nasional yang terbukti menjadi lantaran tindakan pegawapemerintah pemerintah yang berdasarkan aturan telah melanggar hak asasi manusia. Sedangkan dalam konteks relasi internasional, salah satu kasus yang menarik yaitu tidak sanggup dipertanggungjawabkannya suatu negara oleh negara lain terhadap pelanggaran-pelanggaran hak asasi insan yang berlangsung dinegaranya.

§ Negara beserta pemerintahnya berkewajiban untuk melindungi hak asasi manusia.

Dalam kaitannya dengan negara Indonesia sebagai negara hukum[32], hal ini tentunya merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan. Mengingat proteksi terhadap hak-hak asasi insan merupakan salah satu syarat negara hukum. Pengakuan dan proteksi hak-hak dasar insan dalam konstitusi suatu negara sejalan dengan hasil penelitian K. C Wheare[33] yang memperlihatkan bahwa dari sebagian besar konstitusi negara-negara di dunia, hampir semuanya memuat ihwal proteksi hak asasi manusia.

Kewajiban proteksi terhadap hak asasi insan tidak terbatas melalui penormaan melalui Undang-Undang Dasar 1945. Penormaannya lebih lanjut melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Undang-Undang Dasar 1945 untuk mengatur mengenai prosedur penerapan atau penegakannya menjadi sangat penting supaya ada pola yang terang dan tegas bagi pegawapemerintah penyelenggara (organ) negara. Dengan kata lain, secara asas dan kaidah, maka hak-hak dasar insan sebaiknya diatur pada Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan pengaturan lebih lanjut mengenai lembaga dan proses penegakan hak-hak dasar bersangkutan perlu didelegasikan kepada perundang-undangan yang lebih rendah, ibarat Ketetapan MPR, undang-undang dan peraturan pemerintah. Kewajiban penormaan ibarat di atas sejalan dengan amanat ayat (5) Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Kedua yang memutuskan “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi insan sesuai dengan prinsip negara aturan yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi insan dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.

Adanya penormaan yang terang serta tegas merupakan instrumen yuridis yang sangat penting bagi pihak yudikatif maupun warga negara dalam menilai dan meminta pertanggungjawaban pegawapemerintah pemerintah bilamana diduga atau terbukti telah melaksanakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di lain pihak penormaan ibarat itu menjadi penuntut bagi aparat/organ pemerintah dalam bertindak berdasarkan aturan sehingga sulit diminta pertanggungjawaban secara individu meskipun tindakan yang dilakukannya diduga melanggar hak asasi manusia.

§ Pertanggungjawabana pegawapemerintah pemerintah atas dugaan atau adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Adanya akreditasi dan proteksi terhadap hak asasi insan merupakan wujud implementasi dari prinsip proteksi aturan bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah[34]. Terdapat beberapa sarana yang sanggup ditempuh rakyat didalam memperjuangkan hak asasinya, baik melalui jalur yuridis maupun non yuridis. Jalur yuridis antara lain dilakukan melalui pengajuan somasi ke Peradilan Hak Asasi Manusia yang ketika ini telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‑Undang No 1 Tahun 1999 tertanggal 8 Oktober 1999. Jalur non yuridis yang sanggup ditempuh, antara lain melalui pengaduan kepada Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia yang telah dibuat di Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, pemberitaan melalui media massa sebagai sarana penekan (pressure) kepada Pemerintah, maupun pengaduan kepada lembaga-lembaga internasional yang mempunyai kanal menekan kepada Pemerintah Indonesia untuk melindungi hak asasi manusia, ibarat IMF, Bank Dunia, PBB dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan lembaga Pengadilan Hak Asasi Manusia, adapun yang melatarbelakangi pembentukannya di Indonesia yaitu lantaran adanya dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi insan yang berat di banyak sekali tempat di Indonesia. Pelanggaran yang diduga terjadi seringkali cenderung berupa tindakan bersifat pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang‑ wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary /extra judicialkilling), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination), yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta menimbulkan perasaan tidak aman baik terhadap perorangan maupun masyarakat. Kondisi ibarat itu mempunyai dampak yang sangat luas baik nasional maupun internasional, antara lain menimbulkan menurunnya kepercayaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Disamping itu, juga untuk menjawab tuntutan reformasi yakni terciptanya suasana yang aman berupa ketertiban, ketenteraman, dan keamanan dengan memperhatikan prinsip‑prinsip hak asasi insan yang diakui oleh bangsa yang beradab.

Selanjutnya pada Pasal 2 disebutkan “Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi insan yang dibuat di lingkungan Peradilan Umum”. Tugas dan wewenang pengadilan ini yaitu untuk memeriksa, memutus, dan menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi insan yang berupa :

a. pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok bangsa, suku bangsa, kelompok berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur, atau cacat mental atau fisik dengan :

1) melaksanakan perbuatan membunuh anggota kelompok tersebut;

2) melaksanakan perbuatan yang mengakibatkan penderitaan frsikatau mental yang berat pada anggota kelompok;

3) membuat keadaan kehidupan yang bertujuan menimbulkan kelompok tersebut musnah secara fisik;

4) memaksakan cara‑cara yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut; atau

5) memindahkan dengan paksa anak‑anak kelompok tersebut kekelompok lain.

b. pembunuhan sewenang‑wenang atau diluar putusan pengadilan;

c. penghilangan orang secara paksa;

d. perbudakan;

e. diskriminasi yang dilakukan secara sistematis;

f. penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang menimbulkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun mental dengan maksud untuk memperoleh keterangan atau akreditasi baik dari yang bersangkutan maupun orang ketiga, atau untuk menakut‑nakuti atau memaksa yang bersangkutan atau orang ketiga atau dengan alasan yang bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya.

Perbuatan-perbuatan ibarat di atas dihentikan dilakukan baik oleh pemerintah maupun warga negara terhadap warga negara lainnya. Bahkan pejabat atau pegawapemerintah pemerintah yang terbukti melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karakter f di atas, berdasarkan Pasal 8-nya sanggup dikenakan pidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling usang 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun.

§ Tidak sanggup dipertanggungjawabkannya suatu negara oleh negara lain terhadap pelanggaran-pelanggaran hak asasi insan yang berlangsung di negaranya

Negara Indonesia sebagai salah satu anggota PBB berkewajiban untuk menghormati terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dicapai PBB di bidang HAM baik yang diatur dalam bentuk deklarasi, perjanjian, piagam, konvensi maupun fakta-fakta. Negara Indonesia secara moral berkewajiban untuk mengusahakan supaya banyak sekali kesepakatan dan pemikiran yang dihasilkan oleh masyarakat Internasional terkait hak-hak dasar insan sanggup dijabarkan dalam kebijakan nasional maupun Sistem Nasional Indonesia. Dalam kaitan ini menarik dikutip pendapatnya Mochtar Kusumaatmadja yang menyampaikan “hukum di negara kita supaya sanggup berkembang dan kita bisa berafiliasi dengan bangsa lain di dunia sebagai sesama masyarakat hukum, kita perlu memelihara dan membuatkan asas-asas dan konsep-konsep aturan yang secara umum dianut umat insan atau asas aturan yang universal”[35]. Namun demikian, dalam membuatkan asas-asas dan konsep-konsep aturan global tersebut pada sistem aturan kita tidaklah dilakukan secara serta merta. Hal ini tidak terlepas dari konsepsi bahwa pada hakikatnya “setiap negara yaitu berdaulat dan setara”[36].

Pengakuan terhadap prinsip kesetaraan ibarat di atas membawa konsekuensi terhadap negara-negara anggota masyarakat dunia untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara. Dalam relasi internasional yang telah berlangsung diterima prinsip bahwa suatu negara berdaulat tidak sanggup melaksanakan yurisdiksinya terhadap negara berdaulat lainnya (par in parem non habet jurisdictionem)[37] prinsip hidup bertetangga secara baik (Good neighbourhood principle), serta prinsip hidup berdampingan secara tenang (peaceful co-existance). Prinsip-prinsip tersebut berdasarkan pendapat kami melahirkan adanya iktikad kekebalan kedaulatan (sovereign immunity), yakni “suatu negara yang berdaulat tidak sanggup diadili oleh hakim-hakim dari negara-negara lain, mengingat suatu negara yang berdaulat kedudukannya sama rata terhadap sesama negaranya itu”[38]. Demikian pula dalam kaitannya dengan kewenangan Mahkamah Internasional terhadap pelanggaran hak asasi insan di masa perang, maupun peradilan ihwal hak asasi insan yang bersifat internasioanl yang secara khusus dibuat untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, sifatnya bersifat subsider. Lembaga-lembaga itu gres akan berfungsi bilamana negara-negara berdaulat ibarat contohnya Indonesia tidak berupaya atau tidak ada itikad baik untuk menuntaskan terhadap dugaan pelanggaran-pelanggaran hak asasi insan yang terjadi di wilayah Indonesia.

III. Konklusi dan Rekapitulasi

Polarisasi pemikiran Hans Kelsen berkaitan dengan aturan dan negara dimana negara yaitu sebagai personifikasi tata aturan nasional sehingga negara dilepaskan atau dimurnikan dari efek disiplin ilmu lainnya serta tidak mempunyai hak dan kewajiban, organ negara yaitu individu yang menjalankan fungsi tertentu yang ditetapkan oleh tata hukum, negara sanggup melaksanakan relasi aturan baik bersifat publik maupun privat. Dalam beberapa hal, ibarat pendapat Hans Kelsen dalam kaitannya dengan konsep negara aturan yang menjunjung supremasi aturan sanggup diterima, namun berkaitan dengan konsepsi negara yang menekankan sebagai “komunita yang diciptakan oleh suatu tata aturan nasional” semata, dan negara sanggup melaksanakan relasi perdata dalam kedaulatannya yaitu kurang tepat. Oleh lantaran itu melalui pemikiran Hans Kelsen mengenai aturan dan negara yang menjunjung supremasi aturan maka keberadaan hak asasi insan menerima proteksi baik dalam perspektif penormaan maupun penegakkannya. Perlindungan terhadap hak asasi insan tidak terbatas dalam wilayah nasional suatu negara namun juga bersifat internasional melalui jalur-jalur yuridis dan non yuridis dengan membatasi sifat kemutlakan suatu kedaulatan negara ataupun kewajiban pertanggungjawaban aparat/organ pemerintah terhadap tindakannya yang diduga atau telah menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi atau hak dasar manusia.

Oleh lantaran itu, kedepan maka konsepsi aturan dan negara yang dikemukakan Hans Kelsen dalam penerapannya di Indonesia perlu diubahsuaikan atau dikaji dengan perkembangan kebutuhan negara modern serta ideolgi Pancasila. Pendekatan yang memerlukan balasan yang tuntas tidak sanggup dilakukan melalui pendekatan dari satu bidang ilmu tertentu namun perlu dilakukan secara holistik, multi dan interdisipliner. Oleh lantaran itu, konsekuensi logisnya maka fatwa Kedaulatan yang menjunjung tinggi supremasi aturan ibarat yang dikembangkan oleh Hans Kelsen cukup sempurna untuk diikuti dan diimplementasikan dalam proteksi terhadap hak asasi manusia, sehingga sanggup diminimalisir ikut sertanya kepentingan politik, ekonomi maupun pertahanan keamanan didalam penormaan maupun penegakan aturan hak asasi insan bersangkutan.*****

[1] Doktor Ilmu Universitas Padjadjaran, Bandung, Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Hakim Niaga dan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial serta Penulis Buku Ilmu dan Dosen Program Pascasarjana Ilmu Universitas Merdeka, Malang

[2]Satjipto Rahardjo, Ilmu , Alumni, Bandung, 1986, hlm. 26.

[3]Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Indonesia, Penerbit PT Ichtiar Baru, Jakarta, 1989, hlm. 2

[4]Teori kenyataan menyebutkan bahwa suatu negara lahir sebagai suatu kenyataan apabila unsur-unsur negara (daerah, rakyat dan pemerintahan yang berdaulat) telah terpenuhi. Teori ketuhanan menentukan timbulnya suatu negara atas kehendak Tuhan, lantaran segala sesuatu tidak akan terjadi bilamana Tuhan tidak menghendakinya. Kemudian Teori penaklukan menentukan bahwa negara itu lahir lantaran adanya serombongan insan lain yang berusaha untuk tetap menguasai hasil penaklukannya melalui pembentukan suatu organisasi negara. Selanjutnya Teori perjanjian memutuskan bahwa negara timbul lantaran adanya perjanjian yang diadakan antara orang-orang yang tadinya hidup bebas merdeka, sehingga kepentingan bersama sanggup terpelihara dan terjamin. Antara satu teori dengan teori yang lain tidaklah ada suatu pertentangan, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan situasi insan (situationsgebundenheit) sehingga tidak jarang antara teori di atas dijadikan landasan pembenaran terbentuknya suatu negara secara bersama-sama.

[5]Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Tata Negara Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1983, hlm. 2.

[6]Sri Soemantri Martosoewignjo, Undang-Undang Dasar Dan Ketetapan Majeleis Permusyawaratan Rakyat, Pidato Pengukuhan pada penerimaan jabatan Guru Besar Tetap dalam Mata Kuliah Ilmu Tata Negara Fakultas UNPAD, pada tanggal 21 Pebruari 1987, UNPAD, Bandung, 1987, hlm. 4.

[7]Sri Soemantri Martosoewignjo, Undang-Undang Dasar….., Loc. cit.

[8]H. Abu Daud Busroh, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hlm. 29.

[9]Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas ……, Op. cit., hlm. 3.

[10]Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hlm. 2-8.

[11]Wayan Parthiana, Pengantar Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 63-67.

[12]Lili Rasjidi, Introduksi, dalam Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta (ed), Filsafat Mazhab dan Repleksinya, Remadja Karya, Bandung, 1989, hlm. 1.

[13]J.J. Von. Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar ihwal Negara dan , PT. Pembangunan, Jakarta, 1980, 5-6. Bandingkan dengan R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat , Armico, Bandung, 1986, hlm. 41.

[14]Aliran ini yaitu aliran idealisme yang tumbuh pada final kurun kesembilanbelas sebagai reaksi terhadap aliran postivisme, khususnya positivisme materialis yang dianggap sebagai ancaman yang akan mematikan filsafat. Oleh lantaran itu neo-kantianisme diartikan sebagai upaya untuk menanggulangi cara berpikir positivistik pada kurun kesembilanbelas dengan jalan berbalik kepada pemikiran kritik fatwa Kant. Lihat Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1987, hlm. 48.

[15]B. Arief Sidharta, Teori Murni ihwal , dalam Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta (ed), Filsafat …….., Op. cit., hlm. 57-58.

[16]B. Arief Sidharta, Teori Murni….., Ibid., hlm. 58.

[17]Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 39.

[18]Hans Kelsen, Teori Murni, Dasar-Dasar Ilmu Normatif Sebagai Dasar Ilmu Empirik-Deskriptif, alih bahasa dari Somardi, Rimdi Press, 1995, hlm. 183.

[19]Lili Rasjidi, Dasar-Dasar……, Loc. cit.

[20]Hans Kelsen, Teori …….., Op. cit., hlm. 190.

[21]Hans Kelsen, Teori …….., Ibid., hlm. 184.

[22]Hans Kelsen, Teori …….., Ibid.,, hlm. 186.

[23]Hans Kelsen, Teori …….., Ibid., hlm. 188.

[24]Hans Kelsen, Teori …….., Ibid., hlm. 189.

[25]Hans Kelsen, Teori ………., Ibid, hlm. 183.

[26]Hans Kelsen, Teori ………., Ibid, hlm. 198.

[27]R. Sri Soemantri M., Bunga Rampai Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29; bandingkan dengan pendapat Van Wijk & W. Koninjnenbelt, Hoofdstukken van Administratiefrecht, Culemborg, Lemma, 1988, hlm. 55 dalam A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun WaktuPelita I - Pelita IV, Disertasi, Univ. Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 311.

[28]Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar …………, Loc. cit.

[29]Yudha Bhakti, Perkembangan Arti Kedaulatan…….., Op. cit., hlm. 16.

[30]Hans Kelsen, Teori ………., Op. cit., hlm. 203.

[31]Pada atribusi terjadi derma wewenang pemerintahan yang gres oleh suatu ketentuan perundang-undangan, sedangkan dalam delegasi terjadi pelimpahan wewenang yang telah ada oleh Badan yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada tubuh atau pejabat pemerintahan lainnya. Pada atribusi maupun delegasi, adapun pihak yang bertanggung jawab kepada pelaksanaan kiprah bersangkutan dibebankan kepada akseptor kewenangan. Lihat Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang ihwal Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hlm. 64-66.

[32]Konsep negara aturan yang tumbuh di dunia Barat mengalami modifikasi diubahsuaikan dengan cita aturan dan cita negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana sanggup disimak pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang hingga kini disepakati tidak diamandemen dan lebih dipertegas pada Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang pada hakikatnya memutuskan “Negara Indonesia ialah Negara (rechtsstaat) berdasarkan Pancasila”. Lihat Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Penerbit Alumni, Cet. ke-1, Bandung, 1985, hal. 11; dan Padmo Wahjono, Sistem Nasional Dalam Negara Pancasila, CV. Rajawali, Cet. ke-1, Jakarta, 1983, hal. 2, bandingkan dengan Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat Dan Berkumpul Dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Fakultas Pasca sarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996, hal. 109.

[33]K.C. Wheare, Modern Constitutional, Oxford University Press, London, 1975, hlm. 33.

[34]Philipus M. Hadjon, Perlindungan bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 38.

[35]Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita dan Asas-Asas Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, Makalah pada Seminar ihwal Temu Kenal Cita dan Penerapan Asas-Asas Nasional di Jakarta, 22 – 24 Mei 1995, BPHN, Jakarta, 1995, hlm. 6.

[36]R.Y. Jennings dan AD. Watts (ED)., Oppenheim’s International Law, Volume I Peace (London : Longman), 1992, hlm. 52.

[37]J.G. Starke, Pengantar Internasional, Diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djadjaatmadja, Sinar Grafika, Bandung, 1980, hlm. 2-3.

[38]Sudargo Gautama, Aneka Masalah Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 27.

sumber : http://pn-kepanjen.go.id

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pemikiran Hans Kelsen Perihal Aturan Dan Negara Serta Implementasinya Terhadap Dukungan Hak Asasi Insan (Kajian Dari Perspektif Teori Hukum)"

Post a Comment