Asas-Asas Yang Terkandung Dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Aturan Pidana

Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) berbunyi :
  1. Tiada suatu tindakan sanggup dipidana kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada terlebih dahulu.
  2. Dalam hal terjadi perubahan perundang-undangan sehabis tindakan tersebut dilakukan, dipakailah ketentuan-ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka. 

Dalam pasal 1 (1) KUH Pidana tersebut, kalau kita simak kalimatnya, seolah-olah suatu tindakanlah yang sanggup dipidana, tetapi sebenarnya  yang dimaksud bukan tindakan yang sanggup dipidana, melainkan orang yang melaksanakan tindakan tersebut. Perumusan tersebut sesuai dengan gaya bahasa aslinya, atau merupakan terjemahan dari cara atau jalan pikiran pembuat undang-undang di negara Belanda. Mereka membedakan antara sanggup dipidananya sesuatu perbuatan (strafbaarheid van het feit) dengan sanggup dipidananya orang yang melaksanakan perbuatan (strafbaarheid van een persoon).

Asas aturan pidana yang terkandung dalam pasal 1 (1) KUH Pidana yakni :
  • Bahwa aturan pidana bersumber atau menurut peraturan-peraturan tertulis (undang-undang dalam arti luas). Atau dengan perkataan lain ketentuan pidana sudah ada terlebih dahulu dalam peraturan terulis, sebelum perbuatan (tertentu) terjadi.
  • Ketentuan pidana dihentikan berlaku surut. Asas ini merupakan makna dari ketentuan "terlebih dahulu" dalam suara pasal 1 (1) KUH Pidana tersebut.
  • Dilarang memakai analogi dalam penerapan aturan pidana. Asas ini merupakan makna dari  ketentuan "peraturan tertulus" dalam suara pasal 1 (1) KUH Pidana.

Yang menjadi pertanyaan yakni apakah asas-asas yang terkandung dalam pasal 1 KUH Pidana tersebut merupakan asas konstitusi (Undang-Undang Dasar) ? Asas-asas tersebut di atas merupakan pengulangan asas yang telah ada dalam ketentuan umum mengenai perundang-undangan (Algemene Bepalingen van Wetgeving), dan bukan pengulangan asas dari konstitusi (Undang-Undang Dasat), demikian itu dijelaskan dalam ilmu aturan pidana Belanda, yang menurut asas konkordansi, pendapat tersebut diikuti di Indonesia. Undang-undang hanya mengikuti untuk masa depan dan tidak berlaku surut (pasal 2 AB).

Setelah Indonesia merdeka, menurut Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 jo Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1946, memilih bahwa peraturan aturan pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942 masih tetap berlaku dengan segala tambahan, pengurangan, atau perubahan-perubahan yang ditentukan dalam undang-undang tersebut. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak tercantum ketentuan-ketentuan ibarat ketiga asas dalam pasal 1 (1) KUH Pidana.Dengan demikian sanggup disimpulkan bahwa asas-asas tersebut bukan merupakan asas konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945).

Sedangkan pada dikala diberlakunya Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, masing-masing pada pasal  14 (2) memilih bahwa "Tiada seorang juapun boleh dituntut untuk dieksekusi atau dijatuhi hukuman, kecuali alasannya yakni suatu aturan aturan yang sudah ada dan berlaku terhadapnya." Sehingga semenjak diundangkannya Konstitusi RIS dan UUDS 1950 tersebut, asas-asas yang ada pada pasal 1 (1) KUH Pidana tersebut yakni merupakan asas konstitusi, yang berarti bahwa bila ada ketentuan pengecualian harus berdasar ketentuan-ketentuan dalam Konstitusi RIS atau UUDS 1950 tersebut. Demikian itu sesuai dengan suara pasal 14 (3) Konstitusi RIS/UUDS 1950 yang berbunyi : "Apabila ada perubahan dalam aturan aturan ibarat tersebut dalam ayat di atas, maka dipakailah ketentuan yang lebih baik bagi si tersangka."

Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden Republik Indonesia, tanggal 5 Juli 1959, maka asas-asas dalam pasal 1 (1) KUH Pidana tersebut bukan merupakan asas konstitusi (Undang-Undang Dasar), tetapi ketiga asas tersebut merupakan asas aturan pada umumnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving), yang memilih bahwa undang-undang hanya mengikat untuk masa mendatang, dan tidak berlaku surut. Dengan kembalinya pada Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, maka asas-asas tersebut juga merupakan asas aturan pidana, dengan pengecualian terbatas sebagaimana diatur dalam pasal 1 (2) KUH Pidana.

Asas-asas dalam pasal 1 (1) KUH Pidana secara formal bukan merupakan asas konstitusional, namun secara material sanggup dikatakan sebagai tersirat menurut asas konstitusi, dalam pengertian setidak-tidaknya dalam penerapannya harus dipandang sebagai berdasar dan bersumber dari Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 hanya memuat pikiran-pikiran atau aturan-aturan pokok untuk mewujudkan harapan aturan yang menguasai aturan tertulis maupun yang tidak tertulis dengan senantiasa membuka kemungkinan memperhatikan dinamika kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Sehingga dengan demikian, asas-asas yang dalam pasal 1 (1) KUH Pidana tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi atau UUUD 1945.

Semoga bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Asas-Asas Yang Terkandung Dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Aturan Pidana"

Post a Comment