Kecakapan Bertindak Dalam Perjanjian

Suatu perjanjian akan berlaku dan mengikat para pihak yang membuatnya, apabila memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi :  Untuk sahnya suatu perjanjian dibutuhkan empat syarat : 
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
  2. Kecakapan untuk menciptakan suatu perikatan.
  3. Suatu hal tertentu.
  4. Suatu alasannya yakni yang halal.
Menurut ketentuan pasal 1320 butir 2 KUH Perdata menegaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian yakni adanya kecakapan untuk menciptakan perikatan (om eene verbintenis aan te gaan).

Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa, yaitu apabila seseorang, pria atau perempuan, telah berumur minimal 21 tahun atau sudah menikah, dan sehat pikirannya yakni cakap berdasarkan hukum. Mengenai kecakapan dalam menciptakan perikatan, hal tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam ketentuan pasal 1330 KUH Perdata, yang berbunyi : Tak cakap untuk menciptakan suatu perjanjian yakni :
  1. Orang-orang yang belum dewasa.
  2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
  3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya senua orang kepada siapa undang-undang telah melarang menciptakan perjanjian-perjanjian tertentu.
Sehingga, berdasarkan ketentuan pasal 1330 KUH Perdata tersebut, sanggup dikatakan bahwa seseorang dikatakan tidak cakap hukum, apabila :
  1. Seorang tersebut masih di bawah umur, yaitu orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah (pasal 330 ayat 1 KUH Perdata).
  2. Seorang yang berada di bawah pengampuan atau curatele, yaitu orang yang sudah cukup umur atau telah berumur di atas 21 tahun atau sudah menikah, tetapi tidak bisa lantaran pemabuk, aneh (sakit ingatan/mental), dan pemboros.
  3. Wanita yang bersuami, lantaran ia harus mendampingi suami. Mengenai ketidak-cakapan perempuan yang sudah bersuami ini ada hubungannya dengan sistem yang dianut dalam Hukum Perdata Barat di Belanda yang menyerahkan kepemimpinan dalam keluarga kepada suami, yang dinamakan maritale macht. Ketentuan tersebut di negara Belanda kini sudah dihapuskan lantaran tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Demikian juga di Indonesia ketentuan tersebut pelan-pelan juga sudah mulai dihapuskan. 
Orang-orang yang tergolong dalam ketiga hal tersebut di atas, apabila melaksanakan perjanjian harus diwakili oleh orang yang cakap hukum, yaitu orang tua, wali, atau kurator. Apabila tidak, maka perjanjian yang dibuatnya akan cacat hukum, dan jadinya perjanjian tersebut sanggup dibatalkan.

Dalam ketentuan pasal 1320 dan 1330 KUH Perdata tersebut, dipakai istilah kecakapan dan bukan kewenangan. Istilah kecakapan dan kewenangan memiliki perbedaan maksud yang sangat mendasar. Perbedaan istilah tersebut yakni :
  • Kecakapan bertindak menunjuk kepada kewenangan yang umum, maksudnya kewenangan umum untuk menciptakan suatu perjanjian atau untuk melaksanakan tindakan aturan pada umumnya. Orang yang tidak cakap untuk bertindak yakni niscaya orang yang tidak berwenang. Orang yang secara yuridis tidak cakap, ada kemungkinan dalam kenyataannya yakni orang tahu betul akan jawaban atau konsekuensi dari tindakannya.
  • Kewenangan bertindak menunjuk kepada sesuatu hal yang khusus, maksudnya kewenangan untuk bertindak dalam insiden yang khusus. Sehingga ketidakwenangan sanggup dikatakan menghalang-halangi untuk melaksanakan tindakan aturan tertentu.  Orang yang dikatakan tidak wenang (tidak berwenang) yakni orang yang secara umum cakap untuk bertindak, tetapi untuk hal-hal tertentu tidak sanggup melaksanakan tindakan hukum, dalam hal ini tidak berwenang untuk menciptakan suatu perjanjian tertentu. 

Orang yang dinyatakan tidak cakap bertindak, pada umumnya berkaitan dengan persoalan kehendak. Undang-undang beranggapan bahwa orang tertentu tidak atau belum sanggup menyatakan kehendaknya dengan sempurna, dalam arti belum sanggup menyadari sepenuhnya, jawaban aturan yang muncul dari pernyataan kehendaknya. Sehingga atas tindakan aturan yang mereka perbuat, tidak sanggup diberikan jawaban aturan sebagaimana mestinya. Sehingga orang yang tidak cakap dalam penyelenggaraan kepentingannya atau dalam melaksanakan tindakan aturan harus diwakili oleh orang lain, yaitu orang yang caka[ hukum, ibarat orang tua, wali, atau curator. 

Orang yang tidak cakap yakni orang-orang yang secara umum tidak sanggup menciptakan perjanjian, sedangkan orang yang tidak berwenang yakni orang-orang yang tidak dibenarkan untuk menciptakan perjanjian tertentu, sehingga perjanjian yang dibentuk oleh orang-orang yang tidak cakap, memiliki konsekuensi batal demi hukum.

Semoga bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kecakapan Bertindak Dalam Perjanjian"

Post a Comment