Paksaan (Dwang) Dalam Terjadinya Suatu Perjanjian

Pasal 1323 KUH Perdata, menyatakan bahwa : 
  • Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang menciptakan suatu perjanjian, merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat." 
Dari ketentuan pasal 1323 KUH Perdata tersebut jelaslah bahwa suatu perjanjian  yang terjadi di bawah paksaan  (dwang) sanggup dibatalkan. Sedangkan perjanjian yang telah dibentuk tersebut tetap merupakan perjanjian yang mengikat kedua belah pihak, selama perjanjian tersebut belum dibatalkan.

Ketentuan pasal 1323 KUH Perdata tersebut juga menyatakan bahwa bahaya tidak harus tiba pribadi dari pihak lawan perjanjian, tetapi bahaya sanggup juga tiba dari siapa saja, termasuk jikalau lawan perjanjiannya tidak tahu wacana adanya bahaya itu, atau bahkan tidak pernah menyuruh orang lain untuk melaksanakan ancaman.

Selain ketentuan pasal 1323 KUH Perdata tersebut, paksaan juga diatur dalam :
1. Pasal 1324, yang berbunyi :

  1. Paksaan telah terjadi, apabila apabila perbuatan itu sedemikian rupa sampai sanggup menyeramkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu sanggup menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kenyataannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. 
  2. Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan.

Paksaan diatur dalam pasal 1323, 1324, 1325, 1326, dan 1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Dari ketentuan pasal 1324 KUH Perdata tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan paksaan (dwang) adalah setiap perbuatan yang dilakukan yang bahaya terhadap kerugian kepentingan aturan seseorang, tidak hanya sebatas pada kekerasan fisik saja melainkan termasuk juga tekanan psikologis salah satu pihak, yang mengakibatkan tidak adanya kehendak sama sekali untuk menutup suatu perjanjian. Paksaan harus menimbulkan rasa takut sebagai akhir dari adanya kekerasan fisik maupun psikologis.

Selanjutnya Pasal 1325 KUH Perdata, menyebutkan :
  • Paksaan mengakibatkan batalnya suatu perjanjian tidak saja apabila dilakukan terhadap salah satu pihak yang menciptakan perjanjian, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap suami atau isteri atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah.
Dari ketentuan pasal 1325 KUH Perdata, sanggup disimpulkan bahwa : 
  • Paksaan dari pihak lain tidak harus selalu ditujukan kepada orang yang menciptakan perjanjian, tetapi sanggup juga ditujukan kepada orang lain. Hanya saja, yang dimaksud dengan orang lain di sini dibatasi, yaitu terhadap suami atau isteri atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah. Adanya pembatasan tersebut berafiliasi akrab dengan rasa takut akan timbulnya kerugian atas kepentingan aturan orang yang dipaksa. 
  • Perjanjian yang dibentuk di bawah paksaan sanggup dibatalkan, tetapi paksaan tidak menjadikan perjanjian batal demi hukum, melainkan hanya batal dengan keputusan abolisi atas tuntutan.

Pasal 1326 KUH Perdata, berbunyi :
  • Ketakutan saja alasannya ialah hormat terhadap ayah, ibu, atau sanak keluarga lain dalam garis ke atas tanpa disertai kekerasan, tidaklah cukup untuk abolisi perjanjian.
Ketentuan pasal 1326 KUH Perdata tersebut menegaskan bahwa untuk sanggup dibatalkannya suatu perjanjian tidak cukup hanya berupa bahaya saja, melainkan harus ada rasa takut yang disertai kekerasan, baik kekerasan secara fisik maupun psikologis.

Lebih luas lagi sanggup ditarik kesimpulan menurut ketentuan-ketentuan tersebut di atas, bahwa suatu paksaan atau bahaya yang sanggup mengakibatkan sanggup dibatalkannya suatu perjanjian, harus berupa tindakan yang memiliki sifat yang tidak dibenarkan oleh undang-undang.

Pitlo merumuskannya bahwa paksaan, yang tidak dibenarkan oleh hukum, dalam menciptakan perjanjian terjadi jikalau seseorang tersebut :
  • Melalui suatu sarana, yang tidak dibenarkan oleh undang-undang, berusaha mencapai tujuan yang tidak dibenarkan oleh undang-undang. Misalnya : mengancam akan dibunuh jikalau tidak menandatangani suatu perjanjian.
  • Melalui sarana yang dibenarkan oleh undang-undang berusaha untuk mencapai tujuan yang tidak dibenarkan oleh undang-undang. Misalnya : mengancam akan melaporkan tindakan kejahatan yang pernah dilakukan ke pihak kepolisian, apabila seseorang tidak mau menanda tangani suatu perjanjian, di mana isi perjanjian tersebut suatu hal yang tidak pernah dilakukannya, menyerupai menandatangani surat hutang.
  • Melalui sarana yang tidak dibenarkan oleh undang undang-undang untuk mencapai tujuan yang dibenarkan oleh undang-undang. Misalnya : mengancam akan dibunuh apabila seseorang tidak mau menandatangi suatu perjanjian yang berisi pembayaran sejumlah bunga tertentu atas hutang yang ia pernah terima.

Dari batasan paksaan tersebut, terdapat jenis paksaan yang tidak mengakibatkan cacatnya suatu perjanjian, yaitu paksaan atau tekanan yang dibenarkan oleh undang-undang. Akan tetapi, jikalau sarana yang dibenarkan oleh undang-undang tersebut digunakan sebagai sarana pemaksa untuk mencapai tujuan yang tidak dibenarkan oleh undang-undang, maka sarana tersebut menjadi onrechtmatige.

Semoga bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Paksaan (Dwang) Dalam Terjadinya Suatu Perjanjian"

Post a Comment