Pengecualian Atas Pasal 1329 Kuh Perdata Perihal Kecakapan Bertindak Dalam Perjanjian

Pasal 1329 KUH Perdata berbunyi :

  • Setiap orang ialah cakap untuk menciptakan perikatan-perikatan, bila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. 
Ketentuan pasal 1329 KUH Perdata tersebut menyatakan bahwa kecakapan merupakan prinsip dalam kewenangan seseorang menciptakan suatu perjanjian. Atau dengan kata lain, setiap orang pada asasnya ialah cakap untuk bertindak, cakap melaksanakan tindakan hukum.

Ketidak-cakapan merupakan pengecualian dari ketentuan pasal 1329 KUH Perdata tersebut. Seorang dikatakan tidak cakap untuk menciptakan perjanjian atau tidak cakap melaksanakan perbuatan hukum, apabila memenuhi ketntuan pasal 1330 KUH Perdata yang berbunyi : Tak cakap untuk menciptakan suatu perjanjian ialah : 
  1. orang-orang yang belum dewasa.
  2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
  3. orang-orang perempuan, dalam hal-hal ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang menciptakan perjanjian-perjanjian tertentu."

Makara berdasarkan ketentuan pasal 1330 KUH Perdata tersebut seorang ialah tidak cakap, apabila ia pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang tidak bisa menciptakan sendiri perjanjian-perjanjian dengan akibat-akibat aturan yang sempurna.

Dari ketentuan pasal 1330 KUH Perdata tersebut, sanggup ditarik kesimpulan bahwa seorang dikatakan tidak cakap hukum, apabila dalam keadaan :

1. Seorang di anak-anak atau belum dewasa.
Yang sanggup dikatakan orang di anak-anak atau belum dewasa, ialah sebagaimana dinyatakan dalam pasal 330 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : 
  • Belum remaja ialah mereka yang belum mencapai umur genap duapuluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah menikah.
Sehingga secara a contrario sanggup disimpulkan bahwa remaja ialah mereka yang :
  • telah berumur 21 tahun.
  • telah menikah, termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun, tetapi telah menikah.
Jadi, berdasarkan ketentuan pasal 1330 dan pasal 330 ayat (1) KUH Perdata tersebut, seorang dikatakan remaja ialah orang-orang yang pada asasnya cakap untuk bertindak atau melaksanakan perbuatan hukum. Pertanyaannya ialah bagaimana bila orang sebelum berumur 21 tahun sudah menikah dan pernikahannya putus (cerai) sebelum mereka berumur 21 tahun, apakah dalam kondisi demikian, seorang tersebut masih dikatakan remaja ? Dalam kondisi putusnya ijab kabul (cerai) sebelum berumur 21 tahun tersebut, maka status seorang tersebut tidak kembali menjadi belum remaja atau dianggap tetap dewasa.
Penyimpangan ketentuan mengenai ketetapan umur tersebut terdapat dalam :

  • KUH Perdata sendiri, dimana memutuskan syarat umur untuk menikah, yang kurang dari 21 tahun (untuk laki-laki 18 tahun, untuk perempuan 15 tahun). Hal tersebut  merupakan suatu penyimpangan atas asas umum tersebut yang diberikan oleh undang-undang sendiri. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa ketentuan umum mengenai kedewasaan, dan syarat umum untuk menikah, tidak berjalan paralel. Keduanya merupakan dua duduk masalah yang berbeda, walaupun sebagai jawaban dari suatu pernikahan, berdasarkan undang-undang, orang menjadi dewasa.
  • Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974, pasal 50 menyatakan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang bau tanah atau wali hingga umur 18 tahun. Hal tersebut berarti bahwa anak yang telah mencapai umur 18 tahun telah lepas dari perwalian, dengan kata lain, ia sanggup melaksanakan tindakan aturan sendiri dengan sah. 
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 ini menjadikan keragu-raguan mengenai batas umur dewasa.  Bagaimana kedudukan anak yang berumur antara 18 tahun - 21 tahun ? Ada masa vakum, di mana orang lain tidak sanggup bertindak untuk mewakli dirinya, sedang ia sendiri tidak cakap untuk bertindak sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut, Mahkamah Agung dalam sutu keputusannya tanggal 13 Oktoberr 1976, Nomor : 477 K/Sip/1976 dalam masalah "Batas Berakhirnya Perwalian", menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974, maka batas seseorang berada di bawah kekuasaan perwalian ialah 18 tshun.
Pengecualian terhadap seorang yang dianggap telah sanggup melaksanakan perbuatan aturan sendiri (dewasa atau berumur lebih dari 21 tahun) tersebut ialah :
  • mereka yang belum berumur 21 tahun, sanggup menutup perjanjian kerja sebagai buruh, sekalipun untuk itu harus ada kuasa dari orang-orang yang berdasarkan undang-undang seharusnya mewakilinya, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1601 g KUH Perdata.
  • mereka yang belum dewasa, asal telah mencapai syarat umur untuk menikah, sanggup menciptakan perjanjian nikah, asal untuk itu ia menerima proteksi dari orang yang ijinnya diharapkan untuk melangsungkan penikahan, sebagaimana diatur dalam pasal 151 KUH Perdata, sedangkan untuk menciptakan wasiat, sudah cukup kalau ia telah berumur 18 tahun. 

2. Orang Yang Ditaruh di Bawah Pengampuan/Curatele.
Pasal 452 (1) KUH Perdata menyatakan bahwa :

  • Setiap orang yang ditaruh di bawah pengampuan, memiliki kedudukan yang sama dengan seorang belum dewasa. 
Orang yang ditaruh di bawah pengampuan atau curatele ialah orang yang sudah remaja atau telah berumur 21 tahun tetapi tidak mempu yang disebabkan lantaran pemabuk, sakit mental atau sakit ingatan, dan pemboros.
Pengampuan tidak pernah terjadi demi hukum, tetapi selalu didasarkan atas pemohonan, sebagaimana diataur dalam pasal 434 - 445 KUH Perdata, dan ia gres mulai berlaku semenjak ada ketetapan pengadilan mengenai hal tersebut, sebagaimana diatur dalam pasal 446 KUH Perdata. Sehingga, ketidak-cakapan seorang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 1330 sub 2 KUH Perdata,  harus diartikan sebagai orang-orang yang oleh pengadilan telah ditetapkan ditaruh di bawah pengampuan. Sedangkan mengenai ketidak-cakapan orang-orang yang terganggu jiwanya/lemah akalnya, tetapi belum menerima ketetapan pengampuan dari pengadilan, tidak diatur oleh undang-undang.

3. Istri-Istri Sepanjang Undang-Undang Menentukan Seperti Itu.
Menurut ketentuan pasal 108 KUH Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan proteksi atau ijin dari suaminya. Dalam hal ketidakcakapan dalam melaksanakan perbuatan hukum, seorang istri berbeda dengan anak yang belum dewasa.  Perbedaannya ialah :

  • Seorang istri dalam melaksanakan perbuatan aturan harus dibantu oleh suaminya, dalam arti bahwa dalam menciptakan suatu perjanjian ia bertindak sendiri, hanya saja ia didampingi oleh orang lain (suaminya) yang membantunya. Bantuan tersebut sanggup diganti dengan surat kuasa atau ijin tertulis dari suaminya.
  • Seorang anak yang belum remaja dalam melaksanakan perbuatan aturan harus diwakili oleh orang bau tanah atau walinya. Makara ia tidak menciptakan perjanjian sendiri tetapi yang menciptakan ialah orang bau tanah atau walinya.

Ketidak-cakapan seorang istri  dalam KUH Perdata, ada hubungannya dengan sistem yang dianut di negara Belanda, di mana dalam keluarga, kepemimpinan diserahkan pada suami. Sistem tersebut dinamakan maritale macht, yang dikala ini di negara Belanda sudah dihapuskan dengan Undang-Undang tanggal 14 Juni 1956, S.343, yang mulai berlaku semenjak tanggal 1 Januari 1957, lantaran dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Demikian juga di Indonesia, ketentuan ihwal ketidak-cakapan seorang istri tersebut juga sudah mulai dihapuskan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1971, menunjukkan penegasan bahwa baik suami maupun istri berhak melaksanakan perbuatan hukum.

Semoga bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengecualian Atas Pasal 1329 Kuh Perdata Perihal Kecakapan Bertindak Dalam Perjanjian"

Post a Comment