Penipuan (Bedrog) Sebagai Alasan Penghapusan Perjanjian

Ada pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan penipuan dalam suatu perjanjian. Pertanyaannya yaitu apakah akhir dari suatu perjanjian yang dibentuk dengan adanya penipuan,  sanggup dimintakan abolisi (dibatalkan) atau batal demi aturan ?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pertama kali kita mesti mengetahui apa yang dimaksud dengan penipuan ? Penipuan adalah suatu kondisi yang dilakukan dengan kesengajaan. dimana seseorang dengan logika daya atau tipu budi bacin (yang menyesatkan) menanamkan suatu pemahaman atau citra yang tidak benar ihwal obyek perjanjian, sehingga pihak lain tergerak untuk menciptakan perjanjian yang merupakan kehendaknya (kehendak orang yang menipu).  Perbuatan penipuan harus dilakukan oleh pihak lain, yaitu pihak lain dalam perjanjian.

Selanjutnya kita mesti mengerti isi dari ketentuan pasal 1328 KUH Perdata ( Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yang berbunyi : 
  1. Penipuan merupakan suatu alasan untuk abolisi perjanjian, apabila tipu muslihat, yang digunakan oleh salah satu pihak, yaitu sedemikian rupa sampai jelas dan faktual bahwa pihak yang lain tidak telah menciptakan perikatan itu jikalau tidak dilakukan tipu budi bacin tersebut.
  2. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

Dari ketentuan pasal  1328 KUH Perdata tersebut, sanggup diketahui bahwa :
  • Undang-undang tidak memperlihatkan perumusan ihwal apa yang dinamakan penipuan. 
  • Dalam hal adanya penipuan, pihak yang tertipu memang memperlihatkan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendak tersebut alasannya yaitu adanya daya tipu atau sengaja diarahkan ke suatu hal yang bertentangan dengan kehendaknya yang sebenarnya. 
Kehendak dan pernyataan kehendak yaitu sama, hanya dalam hal ada kekhilafan atau kesesatan, pemahaman atau citra yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu melalui tipu budi bacin kepada pihak yang lain. Penipuan merupakan kekeliruan yang tidak hanya terbatas pada sifat hakekat bendanya saja tetapi juga atas diri pihak lain.

Selanjutnya dalam pasal 1328 KUH Perdata disebutkan bahwa untuk adanya penipuan harus ada tipu budi bacin (yang merupakan unsur dari penipuan). Yang dimaksud dengan tipu budi bacin adalah serangkaian dongeng (kebohongan) yang tidak benar, dan setiap perilaku atau tindakan yang bersifat menipu, yang tidak hanya sekedar bohong, tetapi harus dianggap sebagai menipu.  Makara bohong saja tidaklah cukup dianggap sebagai bentuk penipuan.

Penipuan juga sanggup terjadi jikalau salah satu pihak dalam perjanjian tidak memberitahukan atau menerangkan sesuatu pun (diam) ihwal kebenaran dari obyek perjanjian, tetapi hal tersebut hanya terjadi jikalau menurut kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang ada kewajiban untuk memperlihatkan keterangan mengenai obyek perjanjian tersebut. Pada asasnya tidak ada kewajiban untuk memberitahukan kepada pihak lawan keadaan bahwasanya dari obyek perjanjian, kalau tidak diminta, kecuali undang-undang mewajibkannya. Dalan hal ada kewajiban ibarat itu, dan pihak yang bersangkutan tetap tidak memperlihatkan keterangan sesuatupun (diam), maka perjanjian tersebut sanggup digugat pembatalannya menurut penipuan.

Seringkali dalam suatu penipuan menjadikan juga pihak yang tertipu khilaf atau tersesat. Dalam hal demikian, pihak yang tertipu sanggup mengajukan tuntutan abolisi perjanjian ke pengadilan menurut penipuan atau kekhilafan/kesesatan, atau menurut keduanya, yaitu menurut penipuan, subsidair atas dasar kekhilafan/kesesatan. Pembedaan dasar penuntutan tersebut didasarkan atas kewajiban pembuktiannya. 

Yang penting diketahui disini adalah, bahwa antara penipuan dan paksaan mempunyai arti yang berbeda. Perbedaan antara peniipuan dan kekerasan adalah :
  • Pada penipuan, orang gres tahu bahwa ia tertipu sesudah menciptakan suatu perjanjian.
  • Pada paksaan, orang sadar memperlihatkan pernyataan kehendak, yang seandainya tidak ada paksaan, pernyataan kehendak tersebut tidak akan diberikannya. Makara sebelum dibuatnya suatu perjanjian orang tersebut tahu bahwa isi perjanjiannya yang dibentuk tersebut tidak sesuai dengan kehendaknya.

Sedangkan di dalam pengadilan, orang yang merasa dirinya tertipu, harus sanggup mengambarkan :
  • Seandainya tidak ada penipuan, maka ia mustahil menciptakan perjanjian tersebut. Dalam hal ini perjanjian mustahil ada.
  • Seandainya tidak ada penipuan, maka ia tidak menciptakan perjanjian tersebut dengan syarat-syarat ibarat yang ada dalam perjanjian tersebut. Dalam hal ini perjanjian mungkin saja ada, tetapi tidak atas dasar syarat-syarat ibarat pada perjanjian yang dibuatnya.
Akibat aturan dari kedua hal tersebut, pihak yang dirinya merasa tertipu sanggup menuntut abolisi perjanjian dengan atau tanpa ganti rugi

Penipuan merupakan alasan untuk pembatalan suatu perjanjian, jadi adanya unsur penipuan pada ketika dibuatnya perjanjian tidak mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum, tetapi hanya memperlihatkan kemungkinan untuk dimintakan abolisi perjanjian tersebut oleh pihak yang merasa dirinya tertipu. Dan sepanjang perjanjian tersebut belum dibatalkan, maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak sebagaimana perjanjian pada umumnya yang dibentuk dengan sempurna.

Semoga bermanfaat





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Penipuan (Bedrog) Sebagai Alasan Penghapusan Perjanjian"

Post a Comment