Asas Larangan Penggunaan Analogi Dalam Aturan Pidana

Asas larangan memakai analogi merupakan asas ketiga dalam penerapan hukum pidana, selain asas legalitas dan asas tidak berlaku surut.  Yang dimaksud dengan memakai analogi dalam aturan pidana ialah menganggap sesuatu sebagai termasuk dalam pengertian dari suatu istilah atau ketentuan undang-undang aturan pidana, alasannya ialah sesuatu itu aneka macam kesamaannya dengan dengan istilah atau ketentuan dalam undang-undang aturan pidana. 

Terhadap asas larangan memakai analogi dalam aturan pidana tersebut, di kalangan para sarjana sendiri terjadi perbedaan pendapat wacana boleh atau tidaknya memakai analogi. Para sarjana yang berpegang teguh pada asas legalitas pada umumnya tidak sanggup mendapatkan penggunaan analogi. Sementara para sarjana yang lain masih memperbolehkan penggunaan analogi dalam aturan pidana. Pendapat para sarjana berkaitan dengan boleh tidaknya memakai analogi dalam aturan pidana tersebut, di antaranya ialah sebagai berikut :
  • Taverne, beropini bahwa penggunaan analogi diperbolehkan. Penggunaan analogi pernah dilakukan oleh HR (Hooge Raad) dalam salah satu putusannya. HR dianggap bertindak sebagai pembentuk undang-undang (rechts vinding).
  • Van Hattum, beropini bahwa penggunaan analogi tidak diperbolehkan. Meskipun ia menyetujui putusan HR yang berdasarkan Taverne diambil berdasarkan analogi, tapi Van Hattum tidak sependapat bahwa dalam pengambilan putusan tersebut HR telah memakai analogi.
  • Pompe, beropini bahwa pada umumnya penggunaan analogi diperbolehkan dalam rangka penyempurnaan undang-undang.
  • Wirjono, beropini bahwa ukuran untuk boleh atau tidaknya suatu analogi ialah apakah analogi inconcreto tidak bertentangan dengan yang sekedar sanggup diketahui dari maksud dan tujuan pembentuk undang-undang dalam merumuskan ketentuan-ketentuan aturan pidana yang bersangkutan. Tentunya tidak selalu memuaskan, apabila setiap analogi dilarang, tapi adakalanya dirasakan benar-benar sebagai adil, apabila dalam suatu hal tertentu analogi diperbolehkan. 

Salah satu pola masalah populer dalam penggunaan analogi yang dilakukan oleh HR ialah dalam masalah pencurian anutan listrik. Yang menjadi masalah dikala itu ialah apakah anutan listrik sanggup dianggap sebagai barang dan apakah telah terjadi tindakan mengambil ? Dengan mengacu pada istilah yang dipakai dalam ketentuan pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), yang berbunyi :
  • Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam alasannya ialah pencurian, dengan pidana penjara paling usang lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.
HR tetapkan bahwa anutan listrik termasuk dalam pengertian barang, dan dengan demikian telah terjadi pengambilan walaupun pada kenyataannya yang terjadi ialah penyaluran. Hal yang menjadi pertimbangan HR dalam mengambil putusan tersebut ialah bahwa pasal 362 KUH Pidana ialah untuk melindungi harta orang lain, tanpa merumuskan apa yang dimaksud dengan barang.

Analogi, kalau benar-benar diperhatikan ialah merupakan bentuk penyelundupan aturan terhadap asas kedua aturan pidana (asas tidak berlaku surut) melalui asas pertama aturan pidana (asas legalitas) sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat 1 KUH Pidana. Maksudnya ialah sesuatu hal dianggap termasuk dalam pengertian peraturan aturan atau undang-undang yang sudah ada. Dengan begitu, sesuatu hal tersebut dianggap sebagai merupakan peraturan hukum, yang mulai berlaku semenjak berlakunya peraturan aturan yang diikutinya. 

Penyelundupan aturan ibarat tersebut, sanggup dianggap sebagai suatu konstruksi aturan yang dikehendaki oleh para sarjana yang memegang teguh asas legalitas. Hal tersebut dilakukan untuk mengatsi kebutuhan-kebutuhan aturan yang belum tertulis atau belum ada atas suatu permasalahan aturan atau tindak pidana yang terjadi.

Semoga bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Asas Larangan Penggunaan Analogi Dalam Aturan Pidana"

Post a Comment