Asas Tidak Berlaku Surut Dalam Aturan Pidana

Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) berbunyi :
  • Tiada suatu perbuatan sanggup dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.
Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana tersebut, selain mengandung asas legalitas, juga mengandung satu asas lain dalam aturan pidana, yaitu asas tidak berlaku surut. Asas tidak berlaku surut tersebut merupakan asas undang-undang-undang aturan pada umumnya.

Asas tidak berlaku surut juga mengandung arti bahwa setiap orang tidak perlu merasa terikat kepada undang-undang untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu tindakan tertentu yang belum atau tidak diancam dengan suatu pidana, meskipun kelak dikemudian hari tindakan yang dilakukan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana. Dengan arti lain yang lebih sederhana, bahwa kalau seseorang melaksanakan suatu tindakan tertentu yang gres di lalu hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, seseorang tersebut tidak sanggup dipidana menurut ketentuan yang gres ditetapkan tersebut.

Bagaimana kalau sebaliknya, apabila seseorang melaksanakan suatu tindakan yang diancam dengan pidana menurut undang-undang yang berlaku, dan lalu undang-undang atau ketentuan pidana tersebut dihapuskan sebelum seseorang itu diadili, apakah asas tidak berlaku surut tersebut tetap berlaku ? Dalam kasus demikian, ternyata asas tidak berlaku surut tidak berlaku. Seseorang yang melaksanakan tindak pidana tersebut tetap akan menjalani proses hukumnya sesuai dengan tindakan yang dilakukannya. Makara asas tidak berlaku surut sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 ayat 1 KUH Pidana tersebut, tidak secara mutlak dianut dalam aturan pidana.

Jika demikian terdapat pengecualian-pengecualian terhadap asas tidak berlaku surut tersebut. Sebagaimana sering kita dengar suatu adagium yang menyampaikan bahwa : "tidak ada suatu peraturan yang tanpa pengecualian ( there is no rule with out exception)". Pengecualian asas tidak berlaku surut dalam KUH Pidana tersebut, secara tegas diatur dalam pasal 1 ayat 2 KUH Pidana, adalah yang berbunyi :
  • Jika setelah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, digunakan aturan yang paling ringan bagi mereka.
Ketentuan pasal 1 ayat 2 KUH Pidana tersebut juga menjadi tanggapan dari pertanyaan tersebut di atas, bagaimana kalau seseorang melaksanakan suatu tindakan yang diancam dengan pidana menurut undang-undang yang berlaku, dan lalu undang-undang atau ketentuan pidana tersebut dihapuskan sebelum seseorang itu diadili, apakah asas tidak berlaku surut tersebut tetap berlaku ?

Sampai ketika ini para sarjana masih memperdebatkan, hingga sejauh manakah pengertian yang terkandung dalam pasal 1 ayat 2 KUH Pidana tersebut. Namun dalam praktek, dalam kaitannya dengan perumusan ayat tersebut, seringkali hakim dalam menjatuhkan putusannya tidak tergantung pada ketika terjadinya suatu tindak pidana, tetapi tergantung pada kepntingan terdakwa. Selain itu, hakim juga dalam menjatuhkan putusannya tidak semata-mata bergantung dengan atran-aturan yang ada tersebut, tetapi akan mempertimbangkan juga aturan-aturan dan faktor-faktor lain berkaitan dengan terdakwa dan tindak pidana yang dilakukannya.  

Lebih dari hal tersebut, dalam pelaksanaan ketentuan pasal 1 ayat 2 KUH Pidana tersebut, hakim semestinya juga mempertimbangkan rasa keadilan bagi diri terdakwa atau seseorang yang melaksanakan tindak pidana tersebut. Patut direnungkan apa yang dikatakan oleh Dr. Wirjono : "Lebih-lebih ketidak-adilan akan dirasakan, apabila oknum A dan oknum B ini bahu-membahu melaksanakan tindak pidana, dan B telah dihukum, sedangkan A, oleh lantaran sakit atau alasannya lain, investigasi perkaranya diundur, sehingga sebelum jatuh putusannya, terjadi perubahan undang-undang yang meringankan hukumannya atau sama sekali meniadakan bahaya hukumannya."

Semoga bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Asas Tidak Berlaku Surut Dalam Aturan Pidana"

Post a Comment