DASAR HUKUM SAHNYA SUATU PERJANJIAN DI INDONESIA.
Perjanjian didalam Hukum Indonesia berada pada ranah atau wilayah aturan privat, yang artinya perjanjian hanya dilakukan antara individu dengan individu. Syarat sahnya suatu perjanjian di Indonesia diatur didalam Pasal 1320Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
- Kecakapan untuk menciptakan suatu perikatan.
- Suatu hal tertentu.
- Suatu lantaran yang halal.
Kedua syarat yang pertama dinamakan, syarat subjektif (akibat aturan lantaran melanggar syarat ini perjanjian sanggup dibatalkan), Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan syarat objektif (akibat aturan melanggar perjanjian ini perjanjian tersebut menjadi Batal Demi Hukum).
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Kata sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) anatara para pihak. Pernyataan pihak yang memperlihatkan dinamakan ajuan (offerte). Pernyataan para pihak yang mendapatkan ajuan dinamakan akseptasi (acceptie). Berdasarkan kata sepakat, maka dalam suatu perjanjian tersebut tidak boleh , terdapat unsur-unsur ;[1]Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Inermasa, Jakarta, 1989, hlm. 135[3]
- Paksaan (dwang) terjadi kalau seseorang mengatakan persetujuannya lantaran ia takut pada ancaman.
- Kekhilafan (dwaling) sanggup terjadi, mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
- Penipuan (bedrog) terjadi apabila satu pihak dengan sengaja mengatakan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk jadinya untuk mengatakan perizinan.
Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“setiap orang ialah cakap untuk menciptakan perikatan-perikatan kalau oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.”
Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“ tidak cakap untuk menciptakan persetujuan-persetujuan adalahah;
- orang-orang belum dewasa,
- mereka yang ditaruh di bawah pengampuan,
- orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, menciptakan persetujuan-persetujuan tertentu.”
Orang sampaumur ialah orang yang sudah berumur 21 tahun atau sebelum 21 tahun akan tetapi telah menikah.
Suatu perjanjian tentunya memiliki objek (bepaald onderwerp); dimana objek tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang sanggup digolongankan sebagai objek perjanjian adalah:
Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“Hanya barang-barang yang sanggup diperdagangkan saja sanggup menjadi pokok suatu perjanjian.”
- Objek perjanjian
Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“ suatu perjanjian harus memiliki sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian sanggup ditentukan atau dihitung.”
Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“barang-barang yang gres akan ada diketahui lalu hari sanggup menjadi pokok suatu perjanjian.
Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, atau pun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekali pun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan Pasal 169, 176, dan 178.”
Pasal 169 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“Hibah yang demikian, ada yang terdiri atas harta benda yang telah tersedia dan dengan terang diterangkan pula dalam sertifikat hibanya, dan ada yang terdiri atas seluruh atau sebagian warisan si yang memberikannya.”
Pasal 176 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“Baik dengan perjanjian perkawinan, maupun dengan sertifikat notaries tersendiri, yang dibentuk sebelum dan berhubung dengan perkawinan itu, pihak-pihak ketiga diperbolehkan memberi setiap hibah yang demikian, sepantas pertimbangan mereka kepada calon suami-istri atau salah seorang dari mereka, dengan tidak mengurangi kemungkinan akan dikuranginya hibah tadi, sekadar perbuatan itu kiranya akan merugikan mereka yang berhak atas suatu pecahan mutlak.”
Pasal 178 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“Tiap-tiap hibah yang terdiri atas seluruh atau sebagian warisan si yang memberikannya, betapapun dilakukan hanya untuk kebahagian suami dan istri saja, atau salah seorang dari mereka, selamanya dianggap berlangsung untuk kebahagian anak dan keturunan mereka selanjutnya kalau si pemberi hibah kiranya hidup lebih usang daripada seorang yang sedianya harus menerimanya, dan kalau dalam sertifikat tiada ketentuan lain.
Hibah yang sedemikian sementara itu akan menjadi gugur, apabila si pemberi hibah hidup lebih usang juga daripada bawah umur dan keturunan yang terakhir ini selanjutnya.”
4. Suatu lantaran yang halal.
- perjanjian tanpa kausa.
Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibentuk lantaran sesuatu lantaran yang palsu atau terlarang, tidak memiliki kekuatan.
- Sebab yang halal
Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu lantaran yang halal, ataupun kalau ada suatu lantaran lain, daripada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian ialah sah.”
- Sebab terlarang
Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“suatu lantaran ialah terlarang, atau apabila dihentikan oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan abik atau ketertiban umum.”
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“ Semua perjanjian yang dibentuk secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak sanggup ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau lantaran alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
0 Response to "Sahnya Perjanjian"
Post a Comment