Perjanjian Berjulukan Dan Perjanjian Tidak Bernama

Pada umumnya, perjanjian diartikan sebagaimana tercantum dalam pasal 1313 KUH Perdata, yang berbunyi :
  • Suatu perjanjian ialah suatu perbuatan, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Pasal 1313 KUH Perdata tersebut hanya mengenai perjanjian-perjanjian yang mengakibatkan perikatan, yaitu perjanjian obligatoir.

Selanjutnya Pasal 1319 KUH Perdata menyebutkan :

  • Semua perjanjian, baik yang memiliki suatu nama khusus maupun yang tidak populer dengan suatu nama tertentu , tnnduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam cuilan ini dan cuilan yang lalu. 

Dari suara ketentuan pasal 1319 KUH Perdata tersebut dapatlah kita simpulkan bahwa suatu perjanjian sanggup dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
  1. Perjanjian yang oleh undang-undang diberi suatu nama khusus atau perjanjian berjulukan (benoemde/nominaatcontracten), yaitu perjanjian-perjanjian yang dikenal dengan nama tertentu dan memiliki pengaturan secara khusus dalam undang-undang. Misalnya : perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, dan lain-lain.
  2. Perjanjian yang dalam undang-undang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu atau perjanjian tidak berjulukan (onbenoemde/innominaat contracten), yaitu perjanjian-perjanjian yang belum diatur secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing. Kita tidak absurd dengan  perjanjian leasing, tetapi perjanjian tersebut tidak diatur di dalam undang-undang atau setidaknya di Indonesia belum diatur secara khusus.

Maksud dan tujuan dari pengelompokan perjanjian tersebut ialah :
  • untuk mengetahui apakah perjanjian tersebut mendapat pengaturan secara khusus dalam undang-undang atau tidak.
  • untuk menjelaskan, bahwa ada perjanjian-perjanjian yang tidak hanya tunduk pada ketentuan umum wacana perjanjian. 
Sebagai mana diketahui, ketentuan umum wacana perjanjian diatur dalam cuilan I, II, dan IV buku III KUH Perdata, dimana berlaku untuk semua perjanjian, baik itu perjanjian berjulukan atau perjanjian tidak bernama, sepanjang undang-undang tidak memperlihatkan suatu pengaturan tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum untuk perjanjian bernama. Berlaku asas lex seorang mahir derogat lex generalis.

Selain dari kedua bentuk perjanjian tersebut diatas, dalam praktek sehari-hari dikenal juga satu bentuk perjanjian lain, yaitu perjanjian campuran,  yaitu perjanjian yang memiliki ciri-ciri dari dua atau lebih perjanjian bernama. Maksudnya ialah perjanjian adonan merupakan perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam undang-undang, yang di dalam praktek memiliki nama tersendiri, yang unsur-unsurnya mirip atau bahkan sama dengan unsur-unsur beberapa perjanjian bernama, tetapi terjalin menjadi satu sehingga perjanjian tersebut tidak sanggup dipisah-pisahkan sebagai suatu perjanjian yang bangkit sendiri.  

Ada beberapa teori menyangkut perjanjian adonan tersebut, yaitu :
  • Teori Kombinasi atau Kumulasi. Ada dua pendapat mengenai teori ini berkaitan dengan cara kerja perjanjian. Pendapat pertama,  mengatakan bahwa dalam hal demikian, unsur-unsur perjanjian dipisah-pisahkan terlebih dahulu, kemudian untuk masing-masing diterapkan ketentuan perjanjian berjulukan yang cocok untuk unsur tersebut. Kesulitan yang dihadapi ialah jikalau ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut bertentangan satu sama lain. Pendapat kedua, menentang adanya perjanjian adonan tersebut, hal ini didasarkan alasannya ialah undang-undang tidak mengenal perjanjian campuran, dan perjanjian mirip tersebut haruslah dianggap sebagai perjanjian tidak bernama. Salah satu tokoh yang menentang adanya perjanjian adonan ialah Hofmann.
  • Teori Absorpsi. Penganut teori ini melihat perjanjian tersebut menurut unsur mana dalam perjanjian yang paling menonjol, selanjutnya diterapkan peraturan perjanjian yang sesuai dengan unsur-unsur yang paling dominan, sedangkan unsur-unsur yang lain dikalahkan oleh unsur yang lebih banyak didominasi tersebut. Kelemahan dari teori ini ialah tidak adanya pegangan untuk memutuskan unsur mana yang dianggap paling pokok atau paling penting.
  • Teori Sui Generis. Penganut teori ini memandang perjanjian adonan sebagai perjanjian yang tersendiri, yang memiliki ciri tersendiri. Peraturan perjanjian berjulukan yang unsur-unsurnya muncul dalam perjanjian adonan sanggup secara analogis diterapkan.                                               
Dalam hal terjadinya sengketa, KUH Perdata tidak memperlihatkan pegangan, bagaimana menuntaskan sengketa yang timbul dari perjanjian adonan tersebut, kecuali apa yang dinyakan dalam pasal 1601 karakter c KUH Perdata. Dalam praktek pengadilanpun, pengadilan juga tidak menganut salah satu dari teori tersebut di atas. Oleh karenanya, sudah menjadi kewajiban dari para pembentuk undang-undang untuk memikirkan hal tersebut.

Semoga bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perjanjian Berjulukan Dan Perjanjian Tidak Bernama"

Post a Comment