Mutlak Atau Tidaknya Penerapan Asas-Asas Pasal 1 Kuh Pidana

Masih berkaitan dengan asas-asas aturan pidana yang terkandung dalam ketentuan pasal 1 ayat 1 KUH Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), ada pertanyaan mengenai mutlak tidaknya penerapan asas-asas tersebut dalam praktek peradilan di Indonesia. Jawaban dari pertanyaan tersebut tentunya akan menimbulkan perbedaan pendapat, alasannya yaitu masing-masing sarjana dan praktisi memiliki pendapatnya sendiri-sendiri.

Meskipun begitu, yang harus dipahami bahwa makna yang terkandung dalam ketentuan pasal 1 KUH Pidana adalah sebagai penjamin hak-hak asasi manusia, penjamin sumbangan individu. Perlindungan aturan tidak hanya bertitik berat pada individu, melainkan harus ada keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, haruslah dilihat ketiga asas yang terkandung dalam ketentuan pasal 1 ayat 1 KUH Pidana tersebut sebagai satu kesatuan, yang saling berkaitan. Asas-asas yang terkandung dalam ketentuan pasal 1 ayat 1 KUH Pidana yaitu :
1. Asas legalitas.
Asas dalam pasal 1 ayat 1 KUH Pidana, yaitu pemfokusan "harus bersumber kepada ketentuan tertulis atau perundang-undangan". Sementara di Indonesia, aturan akhlak yang pada umumnya tidak tertulis masih hidup dan berlaku di dalam masyarakat Indonesia. Dalam banyak perundang-undangan di Indonesia, menyerupai dalam klarifikasi UUD 1945, Undang-Undang Pokok Kehakiman, dan lain-lain, menjelaskan bahwa aturan yang masih hidup dalam masyarakat (hukum adat) masih menerima tempat di tengah-tengah perundang-undangan kita. Bahkan dalam praktek, beberapa putusan Pengadilan Negeri di Indonesia terlihat bahwa aturan akhlak masih dihargai. 
Sekalipun pengruh aturan akhlak dalam sistem aturan Indonesia terbatas, baik mengenai tempat berlakunya, maupun mengenai kualitasnya, akan tetapi sebagai aturan tidak tertulis, aturan akhlak masih memiliki peranan. Dengan begitu dapatlah dikatakan bahwa asas "harus bersumber kepada ketentuan tertulis" dalam pasal 1 ayat 1 KUH Pidana tersebut sebetulnya sudah tidak mutlak lagi.

2. Asas tidak berlaku surut.
Asas kedua dari pasal 1 ayat 1 KUH Pidana yaitu "tidak berlaku surut". Asas ini muncul sebagai akhir logis dari asas legalitas. Sehingga dengan demikian asas ini juga tidak bersifat mutlak lagi. Hal tersebut terlihat juga dalam ketentuan pasal 1 ayat 2 KUH Pidana, yang menguatkan bahwa asas tidak berlaku surut tersebut tidak mutlak, dengan ditentukannya sanggup berlaku surut suatu ketentuan pidana yang menguntungkan bagi tersangka. 

3. Asas larangan memakai analogi.
Asas ketiga dari pasal 1 ayat 1 KUH Pidana yaitu "larangan memakai analogi", dengan sendirinya juga tidak bersifat mutlak lagi. Hal tersebut banyak tercermin dalam banyak putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Dalam beberapa masalah di mana obyek tindak pidana tidak diatur dengan tegas dalam KUH Pidana, hakim akan memakai analogi, menyerupai terlihat dalam masalah "pencurian pedoman listrik".

Penerapan ketidak-mutlakan asas-asas tersebut, sudah barang tentu jangan hingga menyimpang dari  tujuan  asas-asas pasal 1 ayat KUH Pidana tersebut, yaitu membuat kepastian aturan dalam masyarakat. Maksudnya, legalitas dalam penerapan aturan pidana masih tetap merupakan titik berat, tetapi demi penegakan rasa keadilan terutama dalam hubungannya dengan aturan tidak tertulis (hukum adat) yang masih hidup dan berakar dalam masyarakat tertentu di Indonesia, dimungkinkan adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap asas-asas yang terkandung dalam pasal 1 ayat 1 KUH Pidana.

Semoga bermanfaat.   

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mutlak Atau Tidaknya Penerapan Asas-Asas Pasal 1 Kuh Pidana"

Post a Comment