Pada umumnya, yang menjadi ukuran suatu perjanjian dalam KUH Perdata yakni peranan kehendak para pihak yang mengadakan perjanjian. Hal tersebut sanggup dilihat dalam perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir yakni suatu perjanjian di mana mengharuskan atau mewajibkan untuk membayat atau menyerahkan sesuatu. Seperti :

Di lain pihak, terdapat perjanjian-perjanjian lain di mana peranan kehendak dari salah satu pihak sanggup diminimalisir, sehingga bagi mereka hanya ada dua pilihan, antara mau atau tidak. Hal tersebut sanggup ditemui pada perjajian yang banyak dipraktekkan dalam dunia perbankan, yang biasa dikenal dengan sebutan perjanjian standar, yaitu suatu bentuk perjanjian yang isinya telah ditentukan oleh salah satu pihak yang biasanya kedudukannya lebih kuat.

- Perjanjian sepihak dan timbal balik.
- Perjanjian cuma-cuma dan atas beban.
- Perjanjian konsensuil, riil, dan formil.
- Perjanjian bernama, tidak bernama, dan campuran.
Di lain pihak, terdapat perjanjian-perjanjian lain di mana peranan kehendak dari salah satu pihak sanggup diminimalisir, sehingga bagi mereka hanya ada dua pilihan, antara mau atau tidak. Hal tersebut sanggup ditemui pada perjajian yang banyak dipraktekkan dalam dunia perbankan, yang biasa dikenal dengan sebutan perjanjian standar, yaitu suatu bentuk perjanjian yang isinya telah ditentukan oleh salah satu pihak yang biasanya kedudukannya lebih kuat.
Perjanjian juga sanggup dibedakan menurut tanggapan aturan yang timbul dari dibuatnya suatu perjanjian. Hal ini berkaitan dengan kepentingan dari para pihak dalam menciptakan suatu perjanjian tersebut. Perjanjian yang demikian sanggup dibedakan menjadi beberapa perjanjian, yaitu perjanjian liberatoire, perjanjian dalam aturan keluarga, perjanjian kebendaan, dan perjanjian pembuktian.
1. Perjanjian Liberatoir.
1. Perjanjian Liberatoir.
Perjanjian liberatoir yakni perjanjian yang membebaskan orang dari keterikatannya dari suatu kewajiban tertentu. Perjanjian liberatoir merupakan bentuk perjanjian yang menghapuskan perikatan, maksudnya yakni perjanjian antara dua pihak yang isi perjanjiannya yakni untuk menghapus perikatan yang ada antara dua pihak tersebut. Contoh dari perjanjian liberatoire yakni apa yang ditentukan dalam pasal 1440 hingga dengan pasal 1442 KUH Perdata wacana pembebasan utang atau novasi. Perjanjian novasi, ditinjau dari perikatan usang yang dihapuskan merupakan perjanjian liberatoir, sedangkan jikalau ditinjau dari perikatan yang baru, perjanjian novasi merupakan perjanjian obligatoir.
2. Perjanjian Dalam Hukum Keluarga.
2. Perjanjian Dalam Hukum Keluarga.
Perjanjian dalam aturan keluarga hanya memiliki tanggapan aturan dalam aturan keluarga saja. Suatu janji nikah yakni merupakan suatu perjanjian, sebab didasarkan atas kata setuju dan menimbulkan hak dan kewajiban, hanya saja tanggapan aturan terbatas dalam aturan keluarga saja. Di dalam aturan keluarga diatur sendiri wacana cara terjadinya, cara pembatalannya, kewajiban-kewajiban apa saja yang menempel pada suami dan isteri, serta tanggapan aturan jikalau tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban tersebut. Ketentuan-ketentuan wacana penjanian tidak berlaku terhadap korelasi hak dan kewajiban antara suami isteri, sehingga perjanjian sebagai diatur dalam ketentuan dalam Buku III KUH Perdata tidak berlaku.
3. Perjanjian Kebendaan.
Perjanjian kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata. Perjanjian ini dimaksudkan sebagai perjanjian untuk menyerahkan atau memindahtangankan, mengubah, atau menghapuskan hak atas benda. Perjanjian kebendaan didasarkan atas kata sepakat, selain itu undang-undang mensyaratkan, perjanjian tersebut harus dibentuk secara tertulis atau dengan akta, dan harus didaftarkan. Perjanjian kebendaan pada umumnya merupakan ikutan dari korelasi aturan obligatoir dan merupakan pelaksanaan dari suatu perjanjian obligatoir. Maksudnya, perjanjian obligatoir menimbulkan kewajiban-kewajiban, diantaranya kewajiban untuk menyerahkan obyek perjanjian, sekaligus perjanjian obligatoir diadakan dengan tujuan untuk memindahtangankan hak kebendaan, maka untuk itu perjanjian obligatoir diikuti dengan perjanjian kebendaan. Sedangkan ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUH Perdata hanya sanggup diterapkan secara analogis pada perjanjian-perjanjian kebendaan.
4. Perjanjian Pembuktian.
Perjanjian pembuktian yakni perjanjian di mana para pihak menetapkan alat-alat bukti apa yang sanggup atau dihentikan dipakai dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak. Makara dalam perjanjian pembuktian para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian mengenai alat-alat pembuktian yang akan mereka gunakan dalam suatu proses. Tujuan dari dibuatnya suatu perjanjian pembuktian yakni :
- untuk memudahkan pembuktian sehingga proses kasus di persidangan tidak berkepanjangan.
- untuk membatasi atau mengesampingkan ketentuan undang-undang wacana pembuktian.
Semoga bermanfaat.
0 Response to "Pembagian Perjanjian Menurut Kepentingannya"
Post a Comment