Post Strukturalisme Atau Dekonstruksi

Stanley Fish, spesialis estetika resepsi beropini bahwa arti sebuah teks tidak terdapat di dalam teks itu sendiri atau dalam struktur teks tersebut, arti merupakan sebuah proses, sesuatu yang terjadi kalau kita membaca teks tersebut.

Pendapat Stanley Fish tersebut dikemukakan sebagai hasil dari penelitiiannya mengenai proses membaca maupun perbedaan-perbedaan dalam interpretasi yang timbul kalau pembaca-pembaca dengan pengetahuan bahasa yang berbeda-beda, pengalaman literer yang berbeda dan pandangan hidup yang berbeda, dalam membaca teks yang sama.

Sejak tahun enampuluhan kritik sastra di Amerika  mulai bergeser dari teks ke arah pembaca. Hal ini membuat posisi kaun New Criticism di Amerika mulai tergantikan. Selain juga  lantaran terpengaruh oleh Nouvelle Critique dan penelitian di Eropa mengenai resepsi yaitu cara seorang pembaca mendapatkan sebuah teks. Kaum poststrukturalis, sekelompok kritikus di Universitas Yale, yang dipelopori oleh Paul de Man dan J. Hillis Miller, dengan lebih tegas lagi menolak pandangan New Criticism. Mereka ingin mendekonstruksikan teks kemudian merekonstruksikan sebuah teks baru. 

Para dekonstruksionis menolak pendapat bahwa teks mencerminkan kenyataan. Sebaliknya, berdasarkan mereka teks membangun kenyataan. Dalam sebuah novel misalnya, tidak mencerminkan keadaan atau masyarakat pada suatu jaman tertentu yang sebenarnya. Kesan seperti keadaan atau masyarakat itu sungguh hadir, disebabkan oleh kemampuan bahasa untuk menghadirkan sesuatu yang tidak ada, seperti ada. Bahasa membuat kenyataan. Dalam teks sendiri tidak terdapat tokoh-tokoh atau peristiwa-peristiwa, hanya bentuk-bentuk bahasa yang menghadirkan tokoh dan kejadian dalam angan-angan pembaca.


Sebuah teks diibaratkan sebagai suatu anyaman yang tersusun dari banyak benang. Jika kita mengikuti satu utas benang saja, maka kita akan menarik suatu kesimpilan yang keliru. Tetapi kalau kita mengikuti aneka macam utas benang, kita tidak sanggup memilih arti yang sebetulnya atau definitif.  Seorang kritikus tidak sanggup secara polos memilih arti sebuah teks. Kritik menuju suatu aporia yaitu tidak ada jalan keluar. Setidaknya begitulah yang dijelaskan oleh Hillis Miller. 

Yang menjadi sasaran  dekonstruksi ialah memperlihatkan, sejauh mana seorang pengarang mempergunakan pola-pola bahasa dan aliran guna memberi bentuk kepada suatu visi tertentu. Dekonstruksi berarti penelitian mengenai intelektualitas, mencari bekas-bekas teks lain. Seorang kritikus yang mengikuti paham dekonstruksi menguraikan struktur-struktur retorik yang dipakai, mencari pengaruh-pengaruh dari teks-teks yang dulu pernah ada, meneliti etimologi kata-kata yang dipergunakan kemudian berusaha supaya dari teks usang yang sudah ditelitinya tersebut disusun sebuah teks baru. 

Dalam praktek, kritik kaum dekonstruksionis tersebut cukup membingungkan atau malah mengacaukan, lantaran bentuk kritik ini sangat terikat akan pengetahuan dan langsung sang kritikus. Sumbangan positif dari kelompok dekonstruksionis ialah perhatiannya pada sifat bahasa yang sanggup mewujudkan kenyataan serta menumbuhkan kreatifitas terhadap tradisi literer.

Semoga bermanfaat.  

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Post Strukturalisme Atau Dekonstruksi"

Post a Comment